Sabtu, 06 September 2008

Supercritical Karbon Dioksida

KETAHANAN TERHADAP SERANGAN RAYAP TANAH (Coptotermes sp.) DARI KAYU YANG DIAWETKAN DENGAN SILAFLUOFEN MENGGUNAKAN KARBON DIOKSIDA SEBAGAI

PELARUT PEMBAWA

TERMITE RESISTANCE OF SOLID WOOD TREATED WITH TERMICIDE SILAFLUOFEN USING CARBON DIOXIDE AS A CARRIER SOLVENT AGAINST COPTOTERMES SPECIES (Coptotermes sp.)

M. DAUD

ABSTRACT

The termite resistance of solid wood treated with termicide silafluofen using supercritical carbon dioxide as a carrier solvent was determined based on the termite resistance of three different comercial tropical wood species (Agathis sp., Palaquium sp., and Heritiera sp.). Treatment was conducted at temperature and pressure supercritical carbon dioxide point (35oC and 80 kg/cm3) with two concentrations termicide silafluofen (20% and 40%) each wood species to obtain five replicates. One treatment untreated wood (concentration 0%) were also tested as control. The specimens of untreated and treated wood is tested to termites in laboratory for three weeks using method of force feeding test. Besides that, untreated and treated wood were also tested using grave yard test for seven months. Results showed that the preservative treatments using supercritical carbon dioxide with concentration 20% have increased termicide resistance of treated wood.

I. PENDAHULUAN

Salah satu kegunaan kayu yang tidak kalah pentingnya yaitu sebagai bahan bangunan berupa rumah. Rumah merupakan kebutuhan primer sehingga merupakan kebutuhan pokok yang harus dipenuhi. Membangun rumah/bangunan pasti membutuhkan kayu. Kayu pada bangunan terutama digunakan untuk membuat tiang, kusen, pintu, jendela, serta rangka atap. Namun demikian, bahan bangunan tersebut sering mengalami kerusakan yang diakibatkan oleh adanya serangan rayap. Dewasa ini, keadaan tersebut semakin nyata karena sebagian besar jenis-jenis kayu yang tersedia memiliki daya tahan atau keawetan alami yang tergolong rendah. Di Indonesia, dari 4.000 jenis kayu yang dikenal, sekitar 85,7% termasuk ke dalam kelas keawetan rendah (Martawijaya, 1996). Tanpa adanya usaha-usaha pencegahan serangan organisme perusak ini, kayu-kayu yang digunakan baik untuk konstruksi maupun untuk mebel akan mudah terserang rayap dan menyebabkan kerugian ekonomis yang sangat nyata.

Laporan penelitian Rakmawati pada tahun 1995 seperti yang dikemukakan oleh Nandika, dkk. (2003) bahwa kerugian ekonomis akibat serangan rayap pada bangunan perumahan adalah 1,67 triliun rupiah. Faktor-faktor yang digunakan untuk memperkirakan kerugian ekonomis akibat serangan rayap tersebut adalah jumlah rumah yang terserang, nilai kayu di pasaran, dan konstanta kerugian. Konstanta nilai kerugian ekonomis diperoleh dari nilai rata-rata kerugian ekonomis akibat serangan rayap per unit rumah, yaitu 12,5% dengan nilai kayu per unit rumah yang ditaksir sebesar Rp.294.000,-. Dengan peningkatan pertumbuhan perumahan 2,4% dan pertambahan nilai kayu per tahun 8,25%, maka nilai kerugian ekonomis akibat serangan rayap akan semakin meningkat. Menurut Susanta (2007), besarnya kerugian yang ditimbulkan oleh rayap pada tahun 1997 mencapai 2 triliun rupiah dan pada tahun 2000 meningkat menjadi sekitar 3 triliun rupiah. Di samping itu, hasil survei di kawasan pemukiman di daerah DKI Jakarta, Bandung, Surabaya dan Batam menunjukkan adanya serangan rayap yang mencapai 70% dari total perumahan (Imansyah dan Achmad, 2006). Untuk mengatasi hal tersebut, maka perlu adanya pengawetan kayu untuk melindungi kayu tersebut dari serangan rayap.

Metode pengawetan yang umum digunakan saat ini adalah pengawetan dengan metode sederhana atau tanpa tekanan (perendaman, pencelupan, pemulasan, penyemprotan dan pembalutan) dan pengawetan menggunakan tekanan (metode proses sel penuh dan metode proses sel kosong). Metode-metode tersebut dilakukan dengan menggunakan media pelarut berupa cairan sehingga potensial menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan karena limbah cair yang dihasilkan. Metode pengawetan tersebut juga dapat menyebabkan perubahan sifat fisik dan mekanis kayu akibat proses pengeringan ulang dari kayu yang diawetkan. Oleh karena itu, perlu dicari alternatif untuk mengembangkan suatu teknologi pengawetan yang menggunakan bahan pelarut yang tidak membahayakan lingkungan. Salah satu alternatif yang mulai dikembangkan adalah penggunaan karbon dioksida (CO2) sebagai carrier solvent (pelarut pembawa).

Pengawetan dengan menggunakan CO2 sebagai pelarut pembawa tidak mempengaruhi sifat fisik kayu (kadar air, kerapatan, penyusutan tangensial dan radial, penyusutan volume, pengembangan tangensial dan radial, pengembangan volume serta T/R rasio) (Wahyuni, 2006). Di samping itu, proses pengawetan dengan bahan pengawet silafluofen menggunakan CO2 sebagai pelarut pembawa pada suhu 15 - 35oC dikombinasikan dengan tekanan 60 - 80 kg/cm2 menghasilkan nilai retensi bahan pengawet melewati nilai toksik efektif dari silafluofen (± 0,025 kg/m3) tanpa menyebabkan kerusakan fisik pada kayu yang diawetkan (Muin dan Arif, 2006). Oleh karena itu, untuk melengkapi informasi pengaruh penggunaan CO2 terhadap sifat lain kayu, maka perlu diadakan penelitian tentang ketahanan terhadap serangan rayap tanah (Coptotermes sp.) dari kayu yang diawetkan dengan silafluofen menggunakan CO2 sebagai pelarut pembawa.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui ketahanan kayu yang diawetkan dengan bahan pengawet silafluofen menggunakan karbon dioksida (CO2) sebagai pelarut pembawa terhadap serangan rayap tanah (Coptotermes sp.). Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai bahan pertimbangan dalam pengembangan penggunaan CO2 sebagai pelarut pembawa sebagai alternatif baru untuk pengawetan kayu yang ramah lingkungan.

II. BAHAN DAN METODE

A. Alat dan Bahan

Alat-alat yang digunakan adalah: gergaji, parang, oven, desikator, timbangan elektrik dengan ketelitian 0,01 g, alat pengawetan, tabung plastik, higrometer, plester paris (gips) dan ruangan (kotak) khusus untuk tempat penyimpanan sampel. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah: Tiga jenis kayu komersil, yaitu kayu palapi (Heritiera sp.), kayu nyatoh (Palaquium sp.) dan kayu agathis (Agathis sp.) dengan ukuran masing-masing 1,5 cm (radial) x 1,5 cm (tangensial) x 15 cm (longitudinal), karbon dioksida (CO2) sebagai pelarut pembawa bahan pengawet, bahan pengawet berupa silafluofen, Ethanol sebagai co-solvent, Coating berupa epoxy resin, rayap tanah (Coptotermes sp.), pipa paralon, stopper (penutup permukaan atas pipa), lem Fox, kayu pinus (Pinus merkusii) ukuran masing-masing 1,5 cm (radial) x 1,5 cm (tangensial) x 15 cm (longitudinal) sebagai sampel referensi.

B. Persiapan Kayu dan Bahan Pengawet

Sampel uji yang akan digunakan adalah sampel uji bebas cacat dari tiga (3) jenis kayu komersil yaitu kayu palapi, kayu nyatoh dan kayu agathis dengan ukuran masing-masing 1,5 cm (radial) x 1,5 cm (tangensial) x 15 cm (longitudinal) yang diambil dari industri penggergajian. Pada bagian ujung setiap sampel uji diberi coating berupa epoxy resin untuk menghindari masuknya bahan pengawet dari arah longitudinal, di mana CO2 diharapkan berpenetrasi dari permukaan kayu bukan pada ujungnya sesuai dengan keadaan yang biasa diharapkan dalam pengawetan komersil. Sebelum diawetkan, sampel uji kemudian dikondisikan pada suhu 60oC selama ± 48 jam. Bahan pengawet silafluofen 95,8% (Dainihon Jockugiko Co.Ltd., Japan), dilarutkan dalam co-solvent ethanol (p.a 99,99%, Merc) dengan dua konsentrasi berbeda (20% dan 40%).

C. Proses Pengawetan

Dua sampel uji setiap jenis kayu yang telah dipersiapkan dimasukkan ke dalam tangki pengawetan. Setelah itu, 5 ml larutan bahan pengawet konsentrasi 20 % dimasukkan ke dalam tangki bahan pengawet (Gambar 2). CO2 dialirkan dari tabung ke dalam tangki bahan pengawet yang telah diisi dengan bahan pengawet, untuk selanjutnya dialirkan ke dalam tangki pengawetan. Kombinasi suhu 15oC dengan tekanan 60 kg/cm2 digunakan pada tahap awal, kemudian suhu tersebut ditingkatkan secara perlahan-lahan hingga mencapai suhu 35oC untuk meningkatkan fase CO2 dari cair menjadi superkritis. Kondisi akhir tersebut dipertahankan selama 20 menit. Proses pengawetan dalam tangki pengawet dilakukan sebanyak 5 kali ulangan, sehingga untuk masing-masing jenis kayu dibutuhkan 10 sampel uji. Proses pengawetan di atas (point a sampai d) juga dilakukan dengan menggunakan bahan pengawet silafluofen dengan konsentrasi 40%.

D. Pengujian Terhadap Serangan Rayap Tanah

1. Pengujian Laboratorium dengan Metode Force-Feeding Test

Sampel uji yang akan digunakan dalam pengujian ini adalah sampel uji tanpa dan dengan pengawetan. Ukuran sampel uji adalah 1,5 cm (radial) x 1,5 cm (tangensial) x 2 cm (longitudinal). Jumlah sampel kayu untuk setiap perlakuan (kontrol, pengawetan dengan konsentrasi 20% dan 40%) adalah 5 sampel tiap jenis kayu (palapi, kayu nyatoh dan kayu agathis), sehingga jumlah sampel yang akan digunakan adalah 45 sampel.

Sampel uji dikondisikan selama ± 48 jam pada suhu 60oC. Selanjutnya masing-masing sampel ditimbang untuk mengetahui berat awalnya sebelum pengujian. Setiap sampel uji kemudian dimasukkan ke dalam tabung plastik dengan ukuran diameter 6 cm dan tinggi 6 cm yang telah ditutup salah satu ujungnya dengan plester paris (gips). Ke dalam masing-masing tabung plastik dimasukkan rayap tanah (Coptotermes sp.) yang sehat dan aktif yang terdiri atas 150 ekor rayap pekerja dan 15 ekor rayap prajurit). Di samping itu, sebagai pembanding juga disiapkan tabung uji yang dimasukkan rayap dengan jumlah yang sama tanpa sampel uji untuk mengetahui starvasi rayap.

Semua contoh uji yang telah diberi rayap diletakkan di dalam suatu ruangan yang gelap yang dasarnya dilapisi dengan kapas, dengan suhu 28 ± 2oC dan kelembaban relatif lebih dari 98% sekitar 3 minggu. Untuk menjaga suhu kelembaban yang diinginkan dilakukan penyemprotan pada media penyimpanan tabung uji. Setiap hari sekali dilakukan pengamatan rayap yang mati. Rayap yang mati dikeluarkan agar tidak dimakan oleh rayap yang lain. Pada akhir pengujian, sampel uji diambil, lalu dibersihkan kemudian dikondisikan kembali selama ± 48 jam pada suhu 60oC. Selanjutnya masing-masing sampel ditimbang sebagai berat akhir setelah pengujian. Pada akhir pengujian ditetapkan persentase mortalitas rayap, persentase kehilangan berat (weight loss) sampel uji dan derajat serangan rayap. Derajat serangan rayap ditetapkan dengan kriteria sebagai berikut (Martawijaya dan Sumarni, 1978):

100 = Utuh (tidak ada gigitan)

90 = Serangan sedikit (hanya pada permukaan)

70 = Serangan sedang (masuk dalam kayu tapi tidak meluas)

40 = Serangan hebat (masuk dalam kayu dan meluas)

0 = Serangan hebat sekali (hancur)

2. Pengujian Lapangan dengan Uji Kubur (Grave Yard Test)

Sampel uji yang akan digunakan dalam pengujian ini adalah sampel uji yang telah diawetkan dengan silafluofen menggunakan CO2 sebagai larutan pembawa pada dua tingkat perlakuan konsentrasi bahan pengawet silafluofen (20% dan 40%). Sampel kayu yang tidak diawetkan dari jenis kayu yang sama juga digunakan sebagai kontrol. Jumlah sampel kayu untuk setiap perlakuan adalah 4 sampel tiap jenis kayu, sehingga jumlah sampel yang akan digunakan adalah 36 sampel. Pengujian dilakukan di lapangan pada lokasi di mana aktivitas serangan rayap tergolong hebat. Aktivitas ini akan ditentukan dengan menggunakan sampel referensi berupa kayu pinus (Pinus merkusii) berukuran 1,5 cm x 1,5 cm x 15 cm yang ditanam sedalam 3/4 bagian pada lokasi yang dianggap potensial sebagai tempat pengujian. Untuk tujuan pengujian, pipa paralon disiapkan dengan membuat potongan-potongan berukuran panjang 20 cm sebanyak 9 potongan. Salah satu bagian ujung potongan pipa paralon tersebut ditancapkan/ ditenggelamkan pada permukaan tanah sedalam 1/3 dari panjang pipa. Pada lokasi pengujian, empat sampel uji diletakkan pada permukaan tanah di dalam pipa paralon sesuai dengan jenis perlakuannya. Penempatan setiap perlakuan, termasuk kontrol, ditentukan secara acak. Jarak antara pusat pipa paralon yang satu dengan yang lainnya pada lokasi pengujian adalah ± 30 cm. Setelah sampel uji diletakkan, ujung pipa lainnya ditutup dengan stopper untuk menciptakan keadaan ruangan yang gelap pada ruang pengujian sampel. Sampel uji dibiarkan dalam tempat/lokasi pengujian selama tujuh bulan. Pengamatan dilakukan pada contoh uji setelah mencapai waktu akhir pengujian yaitu setelah tujuh bulan. Pada akhir pengujian ditetapkan derajat serangan rayap dengan kriteria seperti pada pengujian laboratorium.

E. Analisis Data

Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan percobaan faktorial dengan rancangan dasar rancangan acak lengkap (RAL), di mana setiap kombinasi perlakuan diulang masing-masing sebanyak empat kali (pengujian lapangan) dan lima kali (pengujian laboratorium) yang terdiri atas 2 faktor yaitu: jumlah konsentrasi pengawet silafluofen yang terdiri atas 3 taraf (konsentarasi 0%, 20%, dan 40%) dan faktor jenis kayu yang terdiri atas 3 taraf (kayu agathis, nyatoh, palapi). Data persentase mortalitas dan persentase kehilangan berat sampel uji serta derajat serangan rayap selanjutnya dianalisis ragam untuk mengetahui efektivitas penggunaan bahan pengawet silafluofen pada berbagai konsentrasi sebagai termisida terhadap serangan rayap pada kayu bangunan. Untuk perlakuan yang berpengaruh terhadap respon, selanjutnya diuji lanjut dengan uji beda nyata jujur (BNJ) atau Tukey Test.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Pengujian Laboratorium dengan Metode Force-Feeding Test

1. Persentase Mortalitas Rayap

Persentase mortalitas rayap tanah (Coptotermes sp.) yang telah diumpankan pada sampel uji berkisar antara 18 - 100% dengan persentase mortalitas rata-rata untuk setiap kombinasi perlakuan antara jumlah konsentrasi bahan pengawet silafluofen dan jenis kayu dapat dilihat pada Gambar 1. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa jumlah konsentrasi bahan pengawet silafluofen dan perbedaan jenis kayu serta interaksinya berpengaruh sangat nyata terhadap mortalitas rayap.

Persentase mortalitas rayap rata-rata seperti yang ditunjukkan pada Gambar 1 menunjukkan bahwa mortalitas rayap pada konsentrasi 0% (tanpa proses pengawetan) pada kayu agathis, nyatoh dan palapi masing-masing 18,53%; 20,27% dan 20,00%. Dengan pemberian bahan pengawet silafluofen pada konsentrasi 20% akan meningkatkan presentase mortalitas rayap sampai 100% pada setiap sampel uji. Sampel uji yang diberi bahan pengawet silafluofen 20% akan memberikan persentase mortalitas rayap mencapai 100% pada hari pengamatan ke-3 sedangkan sampel uji yang diberi bahan pengawet silafluofen 40% akan memberikan persentase mortalitas rayap mencapai 100% pada hari pengamatan ke-2. Sedangkan sampel uji starvasi (tanpa diberi sampel uji) memberikan persentase mortalitas rayap mencapai 100% pada hari pengamatan ke-21.

Gambar 1. Persentase Mortalitas Rata-rata Rayap Tanah pada Berbagai Kombinasi Perlakuan pada Pengujian Laboratorium.

Persentase mortalitas rayap mengindikasikan daya racun (toxicity) bahan pengawet melawan serangan rayap. Mortalitas rayap pada sampel uji yang digunakan sebagai kontrol (tanpa bahan pengawet) disebabkan ekstraktif yang bersifat racun yang dimiliki oleh setiap jenis kayu. Sedangkan mortalitas rayap pada sampel uji yang diawetkan disebabakan oleh sifat racun pengawet silafluofen yang bersifat racun kontak dan racun perut (Nandika, dkk., 2003). Sifat racun ini menyebabkan rusaknya sistem syaraf pada rayap dan juga menyebabkan kematian protozoa di dalam perut rayap.

Protozoa di dalam perut rayap menghancurkan selulosa yang tidak dapat dihancurkan oleh rayap atau enzim yang terdapat di dalam perut rayap itu sendiri, sehingga dengan kematian protozoa di dalam perut rayap, rayap pun menjadi mati karena umpan yang dimakan oleh rayap yang terutama terdiri dari selulosa tidak dapat diserap oleh tubuh rayap (Sari dan Hadikusumo, 2003). Sedangkan mortalitas rayap pada starvasi disebabkan oleh karena rayap kekurangan bahan makanan sebagai sumber energi yang mereka butuhkan dan juga disebabkan oleh kematian protozoa di dalam perut rayap.

Kemampuan rayap ini untuk bertahan hidup sampai hari pengamatan ke-21 disebabkan oleh masih adanya makanan yang terdapat dalam usus rayap dan dicerna oleh mikroorganisme sebagai sumber energi untuk menyokong kehidupan rayap selama periode ini. Di samping itu, juga disebabkan oleh adanya penyimpanan lemak yang terdapat pada tubuh rayap serta efisiensi metabolisme oleh rayap untuk mengatasi kekurangan makanan (Ahmed, 2000).

Hasil uji BNJ menunjukkan perbedaan persentase mortalitas rayap yang tidak nyata pada taraf nyata 1% pada kombinasi perlakuan sampel uji yang diawetkan dengan silafluofen menggunakan CO2 sebagai pelarut pembawa (konsentrasi 20% dan 40%) terhadap masing-masing jenis kayu namun berbeda sangat nyata terhadap kombinasi perlakuan yang tidak diawetkan yang dijadikan sebagai kontrol (konsentrasi 0%) pada setiap jenis kayu. Pada kombinasi perlakuan yang tidak diawetkan menunjukkan bahwa presentase mortalitas rayap antara kayu nyatoh dengan palapi relatif sama namun berbeda sangat nyata dengan kayu agathis. Di mana, kayu agathis mempunyai keawetan alami yang lebih rendah dibandingkan kayu nyatoh dan palapi. Perbedaan ini disebabkan oleh perbedaan kandungan ekstraktif yang bersifat racun terhadap organisme perusak yang terdapat dalam kayu tersebut (Eaton dan Hale, 1993). Hasil ini juga mengindikasikan bahwa proses pengawetan kayu dengan silafluofen menggunakan CO2 sebagai larutan pembawa pada konsentrasi 20% sudah efektif untuk mencegah serangan rayap tanah dimana akan memberikan persentase mortalitas rayap mencapai 100%.

3. Persentase Kehilangan Berat (Weight Loss)

Persentase kehilangan berat sampel uji yang telah diumpankan kepada rayap tanah selama 3 minggu berkisar antara 0 - 20% dengan persentase kehilangan berat rata-rata pada berbagai kombinasi perlakuan untuk setiap kombinasi perlakuan antara jumlah konsentrasi bahan pengawet silafluofen dan jenis kayu dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Persentase Kehilangan Berat Rata-rata Sampel Uji pada Berbagai Kombinasi Perlakuan pada Pengujian Laboratorium.

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan jenis kayu dan jumlah konsentrasi bahan pengawet silafluofen serta interaksinya berpengaruh sangat nyata terhadap persentase kehilangan berat sampel uji. Persentase kehilangan berat rata-rata sampel uji yang diumpankan kepada rayap Coptotermes sp. selama tiga minggu menunjukkan bahwa persentase kehilangan berat sampel uji yang tidak diawetkan (konsentrasi 0%) pada kayu agathis, nyatoh dan palapi berturut-turut 14,40%; 9,24% dan 6,10%. Hal ini menunjukkan bahwa setiap jenis kayu memiliki ketahanan kayu terhadap serangan rayap tanah berbeda-beda. Perbedaan ini disebabkan perbedaan keawetan alami kayu. Berdasarkan data di atas, menunjukkan bahwa keawetan alami kayu tertinggi pada kayu palapi sedangkan yang terendah pada kayu agathis. Walaupun demikian, berdasarkan persentase penurunan berat sampel uji menunjukkan bahwa ketiga jenis kayu tersebut tidak tahan terhadap serangan rayap tanah karena persentase kehilangan beratnya melewati persentase kehilangan berat sampel uji yang diizinkan yaitu 3% (Muin dan Tsunoda, 2003a). Dengan pemberian bahan pengawet silafluofen dengan konsentrasi 20% akan menyebabkan peningkatan ketahanan (keawetan alami) kayu dengan penurunan persentase kehilangan berat sampel uji sampai di bawah 3% pada setiap sampel uji. Hal ini mengindikasikan bahwa bahan pengawet silafluofen yang digunakan mempunyai daya racun terhadap rayap, yang ditunjukkan dengan berkurangnya kemampuan rayap dalam mengkomsumsi contoh uji tersebut.

Persentase kehilangan berat sampel uji mengindikasikan ketahanan kayu terhadap serangan rayap pada kayu yang diawetkan. Oleh karena itu, berdasarkan persentase kehilangan berat sampel uji maka proses pengawetan kayu dengan silafluofen menggunakan CO2 sebagai larutan pembawa pada konsentrasi 20% sudah efektif untuk meningkatkan ketahanan kayu terhadap serangan rayap tanah dengan persentase kehilangan berat sampel uji lebih rendah dari 3%.

Hasil uji BNJ menunjukkan perbedaan persentase kehilangan berat sampel uji yang tidak nyata pada taraf nyata 1% pada kombinasi perlakuan sampel uji yang diawetkan dengan silafluofen (konsentrasi 20% dan 40%) pada setiap jenis kayu namun berbeda sangat nyata terhadap kombinasi perlakuan yang tidak diawetkan (konsentrasi 0%) pada masing-masing jenis kayu. Pada kombinasi perlakuan yang tidak diawetkan menunjukkan presentase kehilangan berat sampel uji antara kayu nyatoh dengan palapi berbeda tidak nyata namun berbeda sangat nyata dengan kayu agathis. Hal ini berarti bahwa kayu agathis memilih ketahanan kayu terhadap serangan rayap lebih rendah daripada kayu nyatoh dan palapi. Sedangkan ketahanan kayu nyatoh dan palapi relatif sama. Perbedaan ketahanan (keawetan alami) kayu diakibatkan oleh perbedaan kandungan ekstraktif yang bersifat racun terhadap rayap pada setiap jenis kayu dapat yang mengakibatkan berkurangnya kemampuan rayap dalam mengkomsumsi sampel uji tersebut.

c. Derajat Serangan

Nilai derajat serangan rayap tanah pada sampel uji setelah pengujian selama 3 minggu berkisar antara 50 - 100 dengan rata-rata derajat serangan rayap pada berbagai kombinasi perlakuan untuk setiap kombinasi perlakuan antara jumlah konsentrasi bahan pengawet silafluofen dan jenis kayu dapat dilihat pada Gambar 3. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa rayap hanya mampu menyerang jenis kayu yang tidak diawetkan dengan silafluofen sedangkan sampel yang diawetkan dengan silafluofen masih tetap utuh. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan jenis kayu dan perlakuan jumlah konsentrasi pengawet silafluofen serta interaksinya berpengaruh nyata terhadap derajat serangan rayap. Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan jenis kayu dan perlakuan jumlah konsentrasi pengawet silafluofen serta interaksinya memiliki peranan penting dalam menentukan ketahanan kayu terhadap serangan rayap. Nilai rata-rata derajat serangan rayap pada Gambar 3 menunjukkan bahwa derajat serangan rayap pada sampel uji yang tidak diawetkan bervariasi antara setiap jenis kayu. Hal ini mengindikasikan bahwa masing-masing jenis kayu mempunyai ketahanan terhadap serangan rayap yang berbeda-beda. Berdasarkan skor derajat serangan (visual rating), ketahanan terhadap serangan rayap paling rendah (skor derajat serangan paling kecil) terdapat pada kayu agathis kemudian disusul nyatoh dan palapi.

Umumnya perbedaan ketahanan kayu terhadap serangan rayap tanah tergantung dari banyaknya zat ekstraktif terutama yang mengandung senyawa bioaktif yang dapat menghambat serangan rayap yang terdapat di dalam kayu tersebut (Syafii, 2003). Dengan adanya pemberian bahan pengawet silafluofen menggunakan CO2 konsentrasi 20 % akan meningkatkan ketahanan kayu terhadap serangan rayap sehingga sampel ujinya masih utuh.

Gambar 3. Derajat Serangan Rata-rata Rayap Tanah pada Sampel Uji pada Berbagai Kombinasi Perlakuan pada Pengujian Laboratorium.

Hasil uji BNJ menunjukkan bahwa perbedaan derajat serangan rayap pada sampel uji yang tidak nyata pada taraf nyata 1% pada kombinasi perlakuan sampel uji yang diawetkan dengan silafluofen menggunakan CO2 sebagai larutan pembawa (konsentrasi 20% dan 40%) pada setiap jenis kayu namun berbeda sangat nyata terhadap kombinasi perlakuan sampel uji yang tidak diawetkan (konsentrasi 0%) pada masing-masing jenis kayu. Pada kombinasi perlakuan yang tidak diawetkan antara masing-masing kombinasi perlakuan berbeda tidak nyata. Hal ini menunjukkan bahwa derajat serangan pada kombinasi perlakuan sampel uji yang tidak diawetkan relatif sama. Hal ini juga mengindikasikan bahwa proses pengawetan kayu dengan silafluofen menggunakan CO2 sebagai larutan pembawa pada konsentrasi 20% sudah efektif untuk meningkatkan ketahanan kayu terhadap serangan rayap tanah.

B. Pengujian Lapangan dengan Uji Kubur (Grave Yard Test)

Merujuk pada sampel referensi yang digunakan terbukti bahwa serangan rayaptanah tergolong tinggi dengan jenis rayap tanah yang menyerang adalah Coptotermes sp. Hal ini ditunjukkan dengan hancurnya sampel kayu pinus yang digunakan. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa rayap hanya mampu menyerang jenis kayu agathis yang tidak diawetkan dengan silafluofen sedangkan sampel lain masih tetap utuh. Nilai derajat serangan rayap tanah pada sampel uji setelah pengujian selama 7 bulan berkisar 30–100 dengan rata-rata derajat serangan rayap pada berbagai kombinasi perlakuan untuk setiap kombinasi perlakuan antara jumlah konsentrasi bahan pengawet silafluofen dan jenis kayu dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4. Derajat Serangan Rata-rata Rayap Tanah pada Sampel Uji pada Berbagai Kombinasi Perlakuan pada Pengujian Lapangan.

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa jumlah konsentrasi pengawet silafluofen dan perbedaan jenis kayu berpengaruh nyata terhadap derajat serangan rayap sedangkan interaksinya berpengaruh sangat nyata. Nilai rata-rata derajat serangan rayap pada Gambar 4 menunjukkan derajat serangan rayap pada sampel uji yang tidak diawetkan bervariasi antara setiap jenis kayu. Hal ini mengindikasikan bahwa masing-masing jenis kayu mempunyai ketahanan terhadap serangan rayap yang berbeda-beda. Berdasarkan skor derajat serangan, ketahanan terhadap serangan rayap paling rendah terdapat pada kayu agathis sedangkan palapi dan nyatoh memiliki ketahanan kayu relatif lebih tinggi dibandingkan dengan agathis, di mana sampel kontrolnya masih utuh. Umumnya perbedaan ketahanan kayu terhadap serangan rayap tanah tergantung dari banyaknya zat ekstraktif terutama yang mengandung senyawa bioaktif yang dapat menghambat serangan rayap yang terdapat di dalam kayu tersebut (Syafii, 2003). Beberapa zat yang bersifat racun ini umumnya berasal dari golongan tannin, lignan, kumarin, alkaloid, terpenoid, steroid, stilbena,dan flavonoid (Eaton and Hale, 1993). Dengan adanya pemberian bahan pengawet silafluofen menggunakan CO2 konsentrasi 20% akan meningkatkan ketahanan kayu terhadap serangan rayap sehingga sampel ujinya masih utuh. Hal dapat dilihat pada sampel uji kayu agathis pada Gambar 13.

Hasil uji BNJ menunjukkan perbedaan derajat serangan rayap pada sampel uji yang tidak nyata pada taraf nyata 1% pada setiap kombinasi perlakuan konsentrasi dan jenis kayu namun berbeda sangat nyata terhadap kombinasi perlakuan sampel uji yang tidak diawetkan (konsentrasi 0%) pada kayu agathis. Hal ini menunjukkan bahwa pada pengujian skala lapangan kayu agathis kurang awet dibandingkan dengan kayu nyatoh dan palapi. Di mana kayu nyatoh dan palapi belum terserang rayap. Hal ini sesuai pendapat Soerianegara and Lemmens (1994) bahwa kayu agathis pada pengujian lapangan memiliki umur keawetan yang rendah yaitu berkisar antara 6 sampai 18 bulan. Hal tersebut memang sering terjadi, dimana rayap akan lebih menyerang kayu yang mengandung zat-zat yang disenangi oleh rayap. Pada kombinasi perlakuan yang tidak diawetkan derajat serangan rayap antara kayu nyatoh dan palapi berbeda tidak nyata. Namun berbeda sangat nyata terhadap kayu agathis. Hal ini menunjukkan bahwa derajat serangan pada kombinasi perlakuan sampel uji yang tidak diawetkan relatif berbeda. Hasil pengujian lapangan ini mengindikasikan bahwa proses pengawetan kayu dengan silafluofen menggunakan CO2 sebagai larutan pembawa pada konsentrasi 20% sudah efektif untuk meningkatkan ketahanan kayu terhadap serangan rayap tanah.

Hasil derajat serangan rayap pada pengujian lapangan sedikit berbeda dengan hasil yang diperoleh pada pengujian laboratorium. Di mana pada pengujian laboratorium sampel uji yang dijadikan sebagai sebagai kontrol (konsentrasi 0%) pada kayu nyatoh dan palapih menunjukkan adanya serangan rayap sedangkan pada pengujian lapangan kedua jenis kayu tersebut masih utuh. Hal ini disebabkan pada pengujian lapangan rayap diberi kebebasan memilih untuk makan sampel uji yang diumpankan sehingga rayap akan menyerang kayu yang disukainya. Berbeda dengan pada pengujian laboratorium di mana rayap tidak dapat memilih sampel uji yang akan dimakan sehingga rayap terpaksa akan makan sampel uji yang diumpankan. Hal tersebut didukung oleh pendapat Eaton and Hale (1993) yang menyatakan bahwa dalam beberapa kasus adakalanya sampel kayu pada pengujian di laboratorium kurang awet dibandingkan dengan pengujian di lapangan. Dilaporkan bahwa kayu Guarea (Guarea sp.) dan African Mahogany (Khaya senegalensis) pada pengujian laboratorium menunjukkan keawetan yang rendah dibandingkan dengan pengujian lapangan.

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Merujuk pada hasil penelitian yang telah dilakukan, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Pengawetan kayu dengan dengan bahan pengawet silafluofen menggunakan karbon dioksida (CO2) sebagai pelarut pembawa dapat meningkatkan ketahanan kayu terhadap serangan rayap tanah (Coptotermes sp.).

2. Pengawetan kayu dengan dengan bahan pengawet silafluofen menggunakan karbon dioksida (CO2) sebagai pelarut pembawa pada konsentrasi bahan pengawet 20% sudah efektif untuk mencegah serangan rayap tanah (Coptotermes sp.) pada kayu yang diawetkan.

B. Saran

Perlu diadakan pengujian ketahanan kayu terhadap serangan rayap tanah dengan bahan pengawet silafluofen menggunakan karbon dioksida (CO2) sebagai pelarut pembawa pada konsentrasi di bawah 20%.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmed, B.M. 2000. The Effects of Boron-Treated Timbers Against Coptotermes Species in Australia. Thesis. School of Forestry. Institude of Land and Food Resource, The University of Melbourne, Melbourne. www. eprints.unimelb.edu.au/archive/00000234/01/Ahmed.pdf [ 2 Maret 2007]

Eaton, R. A. and M. D. C. Hale. 1993. Wood: Decay, Pests and Protection. Chapman and Hall, London.

Imansyah, B. dan R. Achmad. 2006. Pengendalian Rayap Secara Alami. www. Pikiran - Rakyat.com/cetak/2006/032006/09/cakrawala/lain06. htm [14 Pebruari 2007].

Martawijaya, A. 1996. Keawetan Kayu dan Faktor yang Mempengaruhinya, Petunjuk Teknis. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan dan Sosial Ekonomi Kehutanan, Bogor.

Martawijaya, A. and G. Sumarni. 1978. Daya Tahan Sejumlah Jenis Kayu Indonesia Terhadap Cryptotermes cynocephalus Light. Laporan No. 129. Lembaga Penelitian Hasil Hutan, Bogor.

Muin, M. dan A. Arif. 2006. Keterawetan Kayu Tropis dengan Proses Pengawetan Menggunakan Karbon Dioksida sebagai Pelarut Pembawa. 2006. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis. 4 (2) : 66-70.

Muin, M. dan K. Tsunoda. 2003a. Termiticidal Performance of Wood-Based Composites Treated with Silafluofen Using Supercritical Carbon Dioxide. Holzforschung. 57 : 585 – 592.

Nandika, D., Y. Rismayadi, dan F. Diba. 2003. Rayap, Biologi dan Pengendaliannya. Muhammadiyah University Press, Surakarta.

Sari, L. dan S. Hadikusumo. 2004. Daya Racun Kulit Kayu Pucung terhadap Rayap Kayu Kering Cryptotermes cynochepalus Light. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis. 2 (1): 16-20.

Soerianegara, I. and R.H.M.J. Lemmens. 1994. Plant Resources of South-East Asia. No. 5(1) Timber Trees: Major Commercial Timbers. Prosea Foundation, Bogor, Indonesia.

Susanta, G. 2007. Cara Praktis Mencegah dan Membasmi Rayap. Penebar Swadaya, Jakarta.

Syafii, W. 2002. Kandungan Zat Ekstraktif Kayu Sawokecik (Manilkara kauki Dubard) dan Pengaruhnya Terhadap Serangan Rayap Coptotermes curvignathus Holmgren dan Jamur Schizophyllum commune Fries. Prosiding Seminar Nasional MAPEKI V. 5 : 124-131

Wahyuni, I. Z. 2006. Perubahan Sifat Fisik dan Stabilitas Dimensi Kayu Akibat Pengawetan Menggunakan Karbon Dioksida sebagai Pelarut. Skripsi. Jurusan Kehutanan, Fakultas Pertanian dan Kehutanan, Universitas Hasanuddin, Makassar (Tidak Diterbitkan).

1 komentar:

sisapi mengatakan...

kalau mau uji kubur kayu dengan rayap tanah, berat dari kayu yang akan diujikan berapa?
terus banyaknya rayap per kayu berapa ya?