Selasa, 09 September 2008

FILSAFAT HADIR KEMBALI SEBAGAI ILMU PENGETAHUAN

FILSAFAT HADIR KEMBALI SEBAGAI

ILMU PENGETAHUAN

Muhammad Daud, S. Hut.

Fakultas Kehutanan

Universitas Hasanuddin

Sudah menjadi pendapat umum bahwa filsafat adalah induk/ibu dari segala macam jenis ilmu pengetahuan. Dengan demikian dapat dipahami bahwa pada mulanya ilmu pengetahuan itu hanya satu yaitu filsafat. Akan tetapi karena filsafat semakin tidak mampu menjawab persoalan-persoalan hidup yang semakin konkrit, positif, praktis dan pragmatis, maka muncullah berbagai jenis ilmu pengetahuan baik yang teoritis maupun praktis.

Kenyataan tersebut adalah wajar, karena memang filsafat hanyalah berkepentingan untuk menjawab pertanyaan apa. Pertanyaan ini memerlukan jawaban yang bersifat global, menyeluruh, dan abstraks universal. Pengetahuan demikian sudah barang tentu tidak akan mampu secara langsung menjawab tuntutan hidup sehari-hari. Dimana tuntutan hidup sehari-hari adalah berupa hal-hal atau barang-barang yang bersifat nyata, konkrit dan khusus, seperti misalnya makanan, minuman, pakaian, perumahan, dan peralatan hidup lainnya. Untuk memenuhi kebutuhan yang demikian itu maka diperlukan adanya ilmu pengetahuan praktis yang secara langsung dapat memproduksi bahan-bahan kebutuhan tersebut.

Demikianlah konsep-konsep dan teori-teori yang bersifat umum universal perlahan-lahan ditinggalkan, ilmu pengetahuan bergerak ke arah teknologi yang berurusan langsung dengan pengadaan barang-barang produksi. Sebagai konsekuensinya, terjadilah pergeseran nilai-nilai yang terkandung di dalam pandangan hidup dari yang kualitatif spritual menjadi kuantitatif material.

Pengaruh nilai-nilai berkat kemajuan teknologi tersebut secara berlarut-larut merusak moralitas manusia. Hal ini bukanlah semata-mata kesalahan kemajuan teknologi itu sendiri, melainkan lebih disebabkan oleh kondisi kepadatan penduduk dunia. Fakta ini selanjutnya menjadi lahan yang subur bagi sikap dan perbuatan bersaing yang mudah cenderung ke arah negatif. Siapa yang kuat (pemilik teknologi) adalah pemenang. Sebaliknya mereka yang lemah (bukan pemilik teknologi) tetap sulit keluar dari penderitaan. Kini hampir sebagian besar manusia di dunia ini terjebak dalam suatu krisis moral yang parah. Sistem ekonomi kapitalis dengan orientasi yang materialistis sudah hampir menyelimuti dunia ini, sehingga krisis moral itu sulit sekali di atasi. Akibatnya lingkungan hidup kini sedang sakit parah, dan sumber dayanya juga dalam keadaan yang krisis. Kini krisis alam lingkungan sangat mengglobal. Dunia seolah terbagi menjadi dua yaitu, mereka yang merebut kemewahan dan mereka yang menahan lapar dahaga. Kedua belah pihak ini kini saling berperang, dan mereka bersama-sama saling berlomba-lomba mengeksploitasi sumber daya alam dan mencemari lingkungan hidup.

Fakta di atas menunjukkan kegagalan manusia sebagai khalifah, bahkan dengan teknologinya justru menindas dunianya. Sehingga barang tentu menarik perhatian penuh filsafat sebagai ibu ilmu pengetahuan dan teknologi. Dengan posisi dan perannya yang demikian itu, wajarlah jika filsafat merasa khawatir terhadap kemungkinan terjadinya malapetaka besar yang menimpah kelestarian hidup manusia dan dunianya.

Lalu apakah yang dapat dilakukan oleh filsafat ? karena filsafat itu salah satu cirinya adalah ahli bertanya, maka beberapa pertanyaan berikut diajukan kepada setiap jenis dan corak ilmu pengetahuan dan teknologi. Apakah yang sebenarnya yang dicari oleh ilmu pengetahuan dan teknologi itu ? Jika jawabannya berupa kebenaran yang nyata, yaitu yang menghasilkan sesuatu yang berguna bagi kebutuhan hidup sehari-hari, adalah sama sekali tidak salah. Akan tetapi untuk apakah kecukupan kebutuhan yang demikian itu ? Benarkah hal itu hanya kebanggan hidup, dan untuk kenikmatan hidup yang hedonistik belakah ? Bukankah hidup ini baru sebagian kecil dari kehidupan yang sesungguhnya ?

Dengan pertanyaan-pertanyaan itu diharapkan ilmu pengetahuan dan teknologi dikembangkan secara interdisipliner dan diamalkan secara etis-tidak bebas nilai. Upaya pengembangan dan pengamalan ilmu pengetahuan dan teknologi yang demikian itu terarah kepada dua sasaran pokok yaitu mengatasi krisis moral dan untuk menghindari terjadinya krisis lingkungan hidup dan sumber daya alam sebagai sumber hidup dan kehidupan. Kedua sasaran pokok ini bisa tercapai, memang hanya jika pluralitas ilmu pengetahuan dan teknologi berada dalam hubungan koeksistensial-interdisipliner. Dan sangat ditentukan oleh sikap ilmiah para ilmuwan pendukungnya.

Selanjutnya, peranan para ilmuwan dan teknologi menjadi semakin penting dan menentukan demi tercapainya kedua sasaran tersebut. Karena atas usaha merekalah sebenarnya ilmu pengetahuan dan teknologi dapat tercipta, dikembangkan dan diamalkan. Jadi moralitas/etika mereka, baik yang keilmuan maupun yang sosial sungguh berfungsi sentral.

Oleh sebab itu, kehadiran filsafat di tengah-tengah perkembangan keanekaragaman ilmu pengetahuan dan teknologi yang demikian penting dan mendesak dewasa ini, mengandung arti pulihnya kembali kewibawaan filsafat, berwujud sebagai filsafat ilmu.

Tehadap perkembangan pluralitas ilmu pengetahuan dan teknologi, filsafat ilmu pengetahun mengingatkan dan menunjukkan jalan yang benar untuk mengembangkan dan mengamalkan iptek itu secara etis-manusiawi, ontologi-interdisipliner dan secara epistimologi-fungsional. Yang pertama didasarkan kepada latar belakang terjadinya IPTEK yang merupakan hasil kreativitas manusia sebagai alat atau jalan untuk mencapai kebahagiaan hidup di dalam lingkungan alam yang sehat, subur dan lestari. Yang kedua didasarkan kepada kenyataan bahwa objek apapun yang dipelajari oleh IPTEK itu (manusia, mineral, nabatih, dan hewaniah) masing-masing terikat dalam suatu kesatuan ekosistim. Oleh sebab itu konsekuensinya masing-masing ilmu pengetahuan seharusnya saling berhubungan secara interdisipliner. Adapun yang ketiga, didasarkan kepada tujuan pencapaian kebenaran ilmiah yang tidak bebas nilai. Artinya sedapat mungkin bermanfaat bagi kehidupan manusia dan dunianya.

Tidak ada komentar: