Kamis, 19 Juli 2012

ANALISIS POTENSI CADANGAN KARBON TERSIMPAN DAN SERAPAN KARBON DIOKSIDA PADA HUTAN RAKYAT BAMBU DI KECAMATAN TANRALILI, KABUPAEN MAROS

ANALISIS POTENSI CADANGAN KARBON TERSIMPAN DAN SERAPAN KARBON DIOKSIDA PADA HUTAN RAKYAT BAMBU DI KECAMATAN TANRALILI, KABUPAEN MAROS


Baharuddin1, Muhammad Daud1
1Fakultas Kehutanan, Universitas Hasanuddin
Email:alibaharuddin@yahoo.com
ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui potensi tegakan, biomassa, cadangan karbon tersimpan  serta serapan karbon dioksida (CO2) hutan rakyat bambu di Kecamatan Tanralili, Kabupaten Maros. Penentuan luas tegakan hutan rakyat bambu aktual dilakukan dengan menggunakan metode sistem informasi geografi (SIG) menggunakan citra Alos 2009 sedangkan penentuan potensi tegakan dilakukakn dengan metode inventarisasi menggunakan teknik sampling secara purpossive. Penentuan potensi biomassa dilakukan dengan metode non destructive menggunakan persamaan alllometrik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa luas tegakan aktual yang berisi tegakan bambu di kecamatan Tanralili sekitar 1490 ha dengan luas efektif yang potensi untuk ditanami bambu sekitar 2318 ha. Jenis bambu yang yang ditemukan adalah paling dominan adalah bambu parring (Giganthcloa atter). Jumlah batang per rumpun sekitar 42 batang dengan jumlah bambu muda sekitar 12 batang/ rumpun. Jumlah rumpun per ha sekitar 220 rumpun sedangkan jumlah batang  per ha sekitar 9240 batang.  Potensi biomassa sekitar 125,70 ton/ ha. Potensi cadangan karbon sekitar 62,85 ton/ ha sedangkan potensi serapan karbon sekitar 52,68 ton/ ha per tahun. Potensi total biomassa, cadangan karbon dan serapan CO2 secara aktual di hutan bambu rakyat di kecamatan Tanralili berturut-turut  187289,9; 93644,93; dan 78501,21 ton. Pemanfaatan lahan yang berpotensi untuk ditanami bambu akan meningkatkan total biomassa, cadangan karbon dan serapan CO2 berturut-turut menjadi sekitar 291367,72; 145683,86 dan 122124,70 ton atau meningkat sekitar 55,57%.

Kata Kunci:  Bambu, Cadangan Karbon, SIG, Hutan Rakyat, Tanralili





Selasa, 19 Juni 2012

PRODUKTIVITAS BIOETANOL DARI KAYU SENGON (Paraserianthes falcataria) DENGAN PERLAKUAN ENZIMATIS


PRODUKTIVITAS BIOETANOL DARI KAYU SENGON (Paraserianthes falcataria) DENGAN PERLAKUAN
ENZIMATIS

(BIOETHANOL PRODUCTIVITY FROM SENGON WOOD (Paraserianthes falcataria) USING ENZIMATIC
 TREATMENTS)

Muhammad Daud1, Wasrin Syafii2, Khaswar Syamsu3

1Fakultas Kehutanan, Universitas Hasanuddin
2Departemen Hasil Hutan, IPB
3Departemen Teknologi Industri Pertanian, IPB

ABSTRACT

This study aims determine the best enzymatic treatments to produce bioethanol from from sengon wood using simulataneous saccharification and fermentation  (SSF) processes. Sengon wood (Paraserianthes falcataria) were pretreated using kraft process to remove lignin content. Pulp were produced from kraft process were analize to determine their chemical properties before treatments.Then, pulp treated using SSF processes. SSF runs were performed in 500 ml fermentors using a  total slurry 200 ml. The substrate and nutrient media were autoclaved (121 oC and 20 minutes). The samples diluted to 2,5% (w/v) of total slurry was used as substrate. The substrate was added with two kinds of enzymatic treatments namely 4% and 8% of total slurry and then inoculated with 10% (v/v) yeast Saccharomyces cereviciae (1,5 x 109 CFU/cc). The SSF experiments were run for 96 hours and the data were investigated five time namely 0, 24, 48, 72 and 96 hours. The results showed that total of sugar and reducing sugar tended to decrease with time of inoculation whereas ethanol concentration increase significantly. The growth of Saccharomyces cereviciae yeast tended to incease in initial inoculation and decrease by the end of inoculation. The best method to hydrolyse (saccharification) and fermentation on SSF processes were using cellulase 8% of dry mass (DM) and 10% (v/v) of Saccharomyces cereviciae and run for 96 hours which produced highest bioethanol was 0,79% and produced yields 8,98% with productivity 2991,97 litre/ha/year.

Key words:  Bioethanol, enzimatic treatments, productivity, sengon wood, cellulase






Kamis, 17 Mei 2012

PEMANFAATAN BATANG KELAPA SAWIT (Elaeis guineensis Jacq.) MENJADI BIOETANOL DENGAN PERLAKUAN PENDAHULUAN MENGGUNAKAN PROSES KRAFT


PEMANFAATAN BATANG KELAPA SAWIT (Elaeis guineensis Jacq.) MENJADI BIOETANOL DENGAN PERLAKUAN PENDAHULUAN MENGGUNAKAN PROSES KRAFT

(UTILIZATION OIL PALM (Elaeis guineensis Jacq.) STEM FOR BIOETHANOL PRODUCTION WITH PRETREATMENT USING
KRAFT PROCESS)

Muhammad Daud1, Wasrin Syafii1, Khaswar Syamsu2
1Departemen Hasil Hutan, IPB
2Departemen Teknologi Industri Pertanian, IPB

ABSTRACT
This study aims to determine the best pretreatment and time of inoculation to produce bioethanol from oil palm (Elaeis guineensis Jacq.) stem using simulataneous saccharification and fermentation  (SSF) processes with Aspergillus niger dan Saccharomyces cereviciae. The samples were chipped and then milled to determine their chemical properties before treatments. The study was conducted to determine the best pretreatment to produce the highest yield of pulp and low of kappa number and lignin content  The treatments were conducted under three kinds of alkalinity (active alkali) namely 16, 18 and 20% and also two kinds of sulfidity namely 20 and 25% using kraft process. Then, pulp treated using SSF processes. SSF runs were performed in 500 ml fermentors using a  total slurry 200 ml. The substrate and nutrient media were autoclaved (121 oC and 20 minutes). The samples diluted to 2,5% (w/v) of total slurry was used as substrate. The substrate was added with 10% (v/v) Aspegillus niger (6,5 x 107 CFU/cc) of total slurry and then inoculated with 10% (v/v) yeast Saccharomyces cereviciae (1,5 x 109 CFU/cc). The SSF experiments were run for 96 hours and the data were investigated five time namely 0, 24, 48, 72 and 96 hours. The results showed that alkalinity and sulfidity effect to yield of pulp, kappa number and lignin content.  The best pretreatment to production bioethanol from oil palm stem was using alkalinity 16% and sulfidity 20% which produce yield of pulp 39,17%. total of sugar and reducing sugar tended to decrease with time of inoculation whereas ethanol concentration increase significantly. The growth of Aspegiluus niger and Saccharomyces cereviciae yeast tended to incease in initial inoculation and decrease by the end of inoculation. The best of inoculation time in bioethanol production was 96 hours which produce bioethanol concentration, yield of bioethanol and bioethanol productivity were 0,31%; 1,94% and 470,88 litre/ha/year.


Key words:  Bioethanol, pretreatments, oil palm, kraft process, simulataneous saccharification and fermentation





Kamis, 19 April 2012

KETAHANAN KAYU PINGSAN (Teysmannidendron sp.) TERHADAP MARINE BORER


KETAHANAN KAYU PINGSAN (Teysmannidendron sp.) TERHADAP MARINE BORER
Muhammad Daud1, Musrizal Muin1, Muhammad Yunus2, Ruslan2
1          Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin
2          Balai Pengembangan Teknologi Perumahan Tradisional Makassar

Kayu pingsan (Teymannidendron sp.) adalah kayu yang diduga endemik di kepulauan Tojo Una-Una, Sulawesi Tengah. Kayu ini banyak digunakan sebagai tiang bangunan rumah tradisional suku Bajo yang bermukim di pesisir laut. Tiang dari kayu ini oleh masyarakat suku Bajo dianggap dapat bertahan lama sampai beberapa tahun jika digunakan sebagai tiang di dalam laut. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ketahanan kayu pingsan (Teysmanniodendron sp.) terhadap marine borer. Pengambilan dan pengujian sampel dilakukan di Desa Kabalutan Kecamatan Walea Kepulauan, Kabupaten Tojo Una-una, Propinsi Sulawesi Tengah. Pengujian keawetan alami kayu pingsan terhadap marine borer yang mengacu pada SNI 01-7207-2006 tentang uji ketahanan kayu dan produk kayu terhadap organisme perusak kayu Contoh uji yang digunakan adalah kayu pingsan (Teysmodendron sp.) yang merupakan kayu yang secara lokal dimanfaatkan suku Bajo sebagai tiang rumah. Contoh uji dipersiapkan dalam bentuk 2,5 cm (r)  x 5 cm (t) x 30 cm (l). Bagian tengah dilubangi dengan diameter sebesar 1,5 cm kemudian disusun sedemikian rupa kemudian dipasang di perairan pantai yang bebas pencemaran, salinitas 30 ppm – 40 ppm, dan air pasang surut maksimal 1,5 – 2 meter. Setelah 6 (enam) bulan contoh uji diangkat, dibersihkan permukaannya dan dijemur sampai kering. Sebagai pembanding dilakukan juga pengujian dengan menggunakan kayu palapi. Tingkat serangan dinilai berdasarkan perbandingan luas permukaan kayu yang rusak dengan total luas permukaann kayu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kayu pingsan memiliki tingkat serangan marine borer yang sangat rendah yaitu sekitar 0.57% sehingga kayu tersebut dapat digolongkan kayu kelas I (sangat tahan terhadap marine borer).

Kata Kunci: Marine Borer, Kayu Pingsan, Teysmanniodendron sp, suku Bajo

Kamis, 29 Maret 2012

BIOKONVERSI BAHAN BERLIGNOSELULOSA MENJADI BIOETANOL MENGGUNAKAN Aspergillus niger dan Saccharomyces cereviciae


BIOKONVERSI BAHAN BERLIGNOSELULOSA MENJADI BIOETANOL MENGGUNAKAN Aspergillus niger dan Saccharomyces cereviciae

(Bioconversion Lignocellulosic Materials to Bioethanol using Aspergillus niger and Saccharomyces cereviciae)

Muhammad Daud1, Wasrin Syafii1, Khaswar Syamsu2

1Departemen Hasil Hutan, IPB
2Departemen Teknologi Industri Pertanian, IPB

ABSTRACT

This study aims to determine feseability production bioethanol from lignocellulosic material using simulataneous saccharification and fermentation  (SSF) processes with Aspergillus niger dan Saccharomyces cereviciae. Three differents  lignocellulosic material namely sengon wood (Paraserianthes falcataria), gmelina wood (Gmelina sp.), pinus wood and (Pinus merkusii) were pretreated using kraft process to remove lignin content. Then, pulp treated using SSF processes. SSF runs were performed in 500 ml fermentors using a  total slurry 200 ml. The substrate and nutrient media were autoclaved (121 oC and 20 minutes). The samples diluted to 2,5% (w/v) of total slurry was used as substrate. The substrate was added with 10% (v/v) Aspegillus niger (6,5 x 107 CFU/cc) of total slurry and then inoculated with 10% (v/v) yeast Saccharomyces cereviciae (1,5 x 109 CFU/cc). The SSF experiments were run for 96 hours and the data were investigated periodically every 24 hours. The results showed that total of sugar and reducing sugar tended to decrease with time of inoculation whereas ethanol concentration increase significantly. The growth of Aspergillus niger and yeast Saccharomyces cereviciae tended to incease in initial inoculation and decrease by the end of inoculation. The bioethanol concentration on sengon, gmelina, and pinus were 0,53%; 0,45%; and 0,31% respectively and produced yields 6,02%; 5,15%, and 3,18% respectively.

Key words:  Bioethanol, simultaneous saccharification and fermentation, Aspergillus niger, Saccharomyces cereviciae






Kamis, 09 Februari 2012

DETERIORASI KAYU PADA BANGUNAN RUMAH TRADISIONAL SUKU BAJO


DETERIORASI KAYU PADA BANGUNAN RUMAH TRADISIONAL SUKU BAJO
Musrizal Muin1, Muhammad Daud1, Muhammad Yunus2, Ruslan2
1          Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin
2 Balai Pengembangan Teknologi Perumahan Tradisional Makassar

ABSTRACT

           Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik rumah, faktor pendukung dan penyebab deteriorasi serta lokasi dan bentuk kerusakan bangunan rumah tradisional suku Bajo. Penelitian dilakukan di pemukiman tradional suku bajo di Desa Kabalutan Kecamatan Walea Kepulauan, Kabupaten Tojo Una-una, Propinsi Sulawesi Tengah. Pengambilan data dilakukan dengan metode purpossive sampling. Data yang dikumpulkan meliputi karakteristik rumah, faktor pendukung deteriorasi, lokasi kerusakan dan faktor penyebab serta bentuk kerusakan bangunan rumah tradisional suku Bajo. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perumahan tradisional suku Bajo berupa rumah panggung yang dibangun di atas laut, bentuk bangunan rumah berupa bujur sangkar atau persegi panjang dengan atap bentuk limasan atau pelana, umumnya masih menggunakan atap rumbia dan sekitar 10% sisanya mengunakan atap seng. Dinding dan lantai menggunakan papan, beberapa rumah juga mengunakan dinding dari daun silar dan pelepah sagu. Tiang rumah menggunakan kayu lokal seperti kayu pingsan, besi, kerikis, togoulu, kalakka dan manjarite berbentuk kayu bulat yang masih mempunyai kulit dengan ukuran diameter 15-25 cm. Bentuk deteriorasi yang ditemukan umumnya berupa perubahan warna oleh faktor pencuacaan (weathering), retak karena faktor mekanis, erosi karena faktor kimia serta pelapukan dan pengikisan akibat faktor biologis seperti jamur, marine borer, rayap dan kumbang. Kerusakan bangunan terjadi pada hampir semua komponen bangunan. Bagian-bagian bangunan yang paling rentan mengalami kerusakan adalah atap, tiang, lantai serta dinding. Kerusakan pada atap umumnya disebabkan oleh faktor pencuacaan, sedangkan kerusakan pada dinding disebabkan oleh jamur pelapuk, jamur pewarna, rayap tanah, dan kumbang serta faktor pencuacaan sedangkan pada tiang disebabkan oleh marine borer. Kontak langsung bahan bangunan dengan air laut, kebocoran pada atap dan dan pemasangan dinding yang kontak langsung dengan tanah, intensitas penyinaran serta kelembaban yang sangat tinggi dan cuaca yang berubah-ubah merupakan faktor nyata yang mendukung terjadinya deteriorasi kayu pada bangunan rumah tradisional suku Bajo yang telah dibangun selama kurang lebih 15 tahun.
.
Kata Kunci: Deteriorasi kayu, Rumah Tradisional, Suku Bajo, Faktor Perusak Kayu

Selasa, 17 Januari 2012

EFEKTIFITAS PENGAWETAN BAMBU MENGGUNAKAN BORON DENGAN METODE MODIFYED BOUCHERI (MOBURI)


EFEKTIFITAS PENGAWETAN BAMBU MENGGUNAKAN BORON DENGAN METODE MODIFYED BOUCHERI (MOBURI)

Ruslan1, Muhammad Daud2, Musrizal Muin2, Anita Firmanti3
1          Balai Pengembangan Teknologi Perumahan Tradisional Makassar
2          Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin
3          Pusat Penelitian dan Pengembangan Pemukiman Pusat, Bandung


ABSTRAK

Metode MOBURI merupakan suatu proses pengawetan bambu menggunakan tekanan yang dikembangkan oleh  Balai Penelitian Pengembangan Teknologi Perumahan Tradisional Makassar  yang merupakan proses modifikasi metode Bouchery dengan melakukan inovasi pada nosel penghubung. Inovasi pada nosel penghubung ini terbukti meningkatnya kemudahan pemasangan bambu, penyesuaian dalam berbagai ukuran bambu (multiple size), kekuatan pengelemen yang baik yang ditunjukkan dengan tidak terjadinya kebocoran bahan pengawetan selama proses pengawetan serta, efektifnya distribusi bahan pengawet dari pangkal ke ujung bambu. Meskipun demikian, pengujian efektifitas proses pengawetan bambu dengan menggunakanmetode MOBURI  ini belum perna dilakukan. Oleh karena itu penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektifitas pengawetan bambu metode modifyed bouchery (mobury) dengan menggunakan bahan pengawet boron.  Empat jenis bambu komersial yaitu bambu parring (Gigantochloa atter), bambu betung (Dendrocalamus asper), bambu awo (Bambussa vulgaris), dan bambu tallang (Schizostachyum brachycladum) yang berdiameter 12-14 cm dengan panjang 4 m dipersiapkan pada kondisi bambu dalam keadaan basah (kadar air lebih dari 30%). Pengawetan dilakukan dengan menggunakan boron komersial dengan variasi konsentrasi larutan pengawet boron 5; 7,5 dan 10% dari larutan komersialnya dengan metode MOBURI dengan tekanan 5 kg/cm2. Pengujian efektifitas proses pengawetan dilakukan dengan mengukur retensi dan distribusi bahan pengawet. Pengukuran retensi dan distribusi bahan pengawet dilakukan berdasarkan Standard of Methods for Examination of Water and Waste Water menggunakan metode Anatomic Absorbtion Spectrophotometry (AAS). Pengukuran distribusi bahan pengawet dengan memplotkan retensi bahan pengawet pada bagian pangkal, tengah dan ujung sampel. Hasil penelitian menunjukkan bahwa waktu dan kemampuan bahan pengawet yang  berdistribusi dari pangkal ke ujung bambu sangat bervariasi berdasarkan jenis bambu. Waktu yang digunakan untuk mendistribusikan bahan pengawet dari pangkal ke ujung pada bambu sekitar 51 - 139 menit tergantung jenis bambu. Distribusi bahan pengawet pada keempat jenis bambu dari pangkal ke ujung sangat baik sehingga pengawetan menggunakan boron dengan metode modifyed boucheri (MOBURI) sangat efektif untuk mengawetkan bambu. Meskipun retensi boron yang dihasilkan belum melewati ambang batas (tresh hold) untuk melindungi bambu dari serangan organisme perusak bambu namun bukan disebabkan oleh proses pengawetan akan tetapi disebabkan oleh rendahnya konsentrasi boron murni yang ada dalam larutan bahan pengawet sangat rendah.