Minggu, 29 November 2009

PENINGKATAN SIFAT FISIS DAN MEKANIS KAYU DURIAN (Durio sp.) DENGAN PENGGORENGAN

PENINGKATAN SIFAT FISIS DAN MEKANIS KAYU DURIAN (Durio sp.) DENGAN PENGGORENGAN

Muhammad Daud1 dan Zahrial Coto2


1 Mahasiswa Pascasarjana, IPB
Email: daud_forest@yahoo.com
2 Guru Besar, Fakultas Kehutanan, IPB

ABSTRAK

Penelitian bertujuan untuk mengetahui peningkatan sifat fisis dan mekanis kayu durian (Durio sp.) setelah penggorengan dengan menggunakan minyak goreng curah. Sampel uji kayu durian dipotong menjadi bentuk papan tangensial dengan ukuran 10 cm (l) x 5 cm (t) x 2 cm (r). Selain itu, dibuat juga sampel uji papan radial dengan ukuran 10 cm (l) x 5 cm (r) x 2 cm (t). Masing-masing papan dibuat dari kayu gubal dan kayu teras. Sampel uji kering udara kemudian dioven secara bertahap pada suhu 60 oC, 80 oC, 100 oC masing-masing selama 24 jam. Selanjutnya sampel uji digoreng dengan menggunakan minyak goreng curah selama 1 jam dan 2 jam pada suhu 200 oC. Sebagai pembanding dilakukan juga pengujian terhadap sampel uji tanpa penggorengan (kontrol). Hasil penelitian menunjukkan penggorengan kayu dapat meningkatkan kerapatan dan kekerasan kayu, menurunkan kadar air kesetimbangan, tingkat perubahan dimensi (TPD) dan laju perubahan kadar air (LPKA).

Kata Kunci: Durian, Penggorengan Kayu, Minyak Curah, Sifat Fisis, Sifat Mekanis


I. PENDAHULUAN
Peningkatan permintaan kayu di pasaran telah menyebabkan penyediaan kayu dari hutan alam mengalami penurunan yang cukup signifikan. Hal ini menyebabkan pasokan kayu di luar hutan alam terutama dari hutan tanaman industri dan hutan rakyat terus mengalami peningkatan. Kayu dari hutan rakyat memiliki banyak kekurangan jika ingin dimanfaatkan sebagai bahan baku untuk kayu pertukangan dan kayu konstruksi. Kekurangan tersebut antara lain terutama diameter batang kecil, kurang awet terhadap serangga perusak kayu, memiliki kekuatan rendah serta memiliki stabilitas dimensi yang rendah akibat mengandung banyak kayu juvenil. Untuk itu, dalam rangka meningkatkan pemanfaatan kayu dari hutan rakyat tersebut maka perlu adanya peningkatan sifat fisis dan mekanisnya.
Salah satu cara untuk meningkatkan mutu terutama sifat fisis dan mekanis kayu berkualitas rendah tersebut adalah dengan cara penggorengan. Penggorengan kayu pada suhu sekitar 100-200 oC telah terbukti dapat meningkatkan berat kayu, MOE, stabilitas dimensi dan kekerasan kayu. Pada kisaran suhu tersebut, hemiselulosa akan terdegradasi dan terjadi penataan ulang struktur amorf dari selulosa yang dapat menyebabkan derajat kristalinitas kayu meningkat (Hill 2006). Forest Products Society (2002) juga melaporkan bahwa penggorengan kayu pada suhu 180-200 oC selama 2-4 jam juga telah terbukti meningkatkan keawetan alami kayu.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peningkatan sifat fisis dan mekanis kayu durian (Durio sp.) terutama peningkatan kekerasan dan kerapatan, serta besarnya penurunan kadar air kesetimbangan, tingkat perubahan dimensi, dan laju perubahan kadar air melalui penggorengan menggunakan minyak goreng curah.

II. METODE PENELITIAN
A. Alat dan Bahan
Alat yang digunakan antara lain kaliper dengan ketelitian 0.01 mm, timbangan digital dengan ketelitian 0.1 g, Universal Testing Machine merk AMSLER, oven, ruang/kotak kedap udara berisi larutan H2SO4 teknis pekat, dan higrometer. Sedangkan bahan yang digunakan adalah sampel uji kayu durian (Durio sp.) dalam bentuk papan tangensial dengan ukuran 10 cm (l) x 5 cm (t) x 2 cm (r) serta sampel uji dalm bentuk papan radial dengan ukuran 10 cm (l) x 5 cm (r) x 2 cm (t), minyak goreng curah.

B. Prosedur Penelitian
Contoh uji kayu durian dikeringkan secara bertahap yaitu berturut-turut 60 °C, 80 °C dan 100 °C masing-masing selama 24 jam agar contoh uji tidak mengalami kerusakan akibat perubahan suhu yang ekstrim. Dari suhu 100 °C contoh uji ditimbang untuk memperoleh data berat kering tanur sebelum perlakuan (BKTa). Selanjutnya sampel uji digoreng dengan menggunakan minyak goreng curah selama 1 jam dan 2 jam pada suhu 200 oC. Sebagai pembanding dilakukan juga pengujian terhadap sampel uji tanpa penggorengan (kontrol). Total contoh uji yang dibuat untuk seluruh perlakuan adalah 36 contoh uji.
Contoh uji dari setiap perlakuan kemudian dikeringkan kembali dalam oven 100 °C untuk mendapatkan data berat kering tanur perlakuan (BKTp). Setelah itu, contoh ujii dikeringudarakan selama kurang lebih satu minggu (untuk mendapatkan data lebar dan berat kering udara), dan kemudian dimasukkan ke dalam ruang kaca kedap udara hingga RH mencapai 58% selama kurang lebih 2 minggu.
Variabel pengamatan adalah: kerapatan pada kondisi kering udara, kekerasan, kadar air kesetimbangan (KAK), tingkat perubahan dimensi (TPD) arah lebar dan tebal serta laju perubahan kadar air (LPKA). Pengujian kekerasan dilakukan dengan menggunakan setengah bola baja yang ditekankan kepada permukaan kayu pada bagian lebar sehingga menimbulkan lekuk seluas 1 cm2 (Martawijaya et al. 2005) menggunakan Universal Testing Machine merk AMSLER.
Kerapatan, Kadar Air Kesetimbangan, Tingkat Perubahan Dimensi (TPD) dan Laju Perubahan Kadar Air (LPKa) dihitung dengan persamaan sebagai berikut:
Kr = BKU
VKU
KAK = (BKU – BKT) x 100%
BKT

Susut = (BKU – Berat RH 58%) x 100%
BKU

TPD = Susut dari KU ke RH 58%
(KAKU – KA RH 58%)

LPKA = (KAK – KA RH 58%)
(RH awal- RH 58%)

Di mana: Kr = Kerapatan Kayu (g/cm2)
BKU = Berat Kering Udara
VKU = Volume Kering Udara
KAK = Kadar Ai Kesetimbangan (%)
LPKA = Laju Perubahan Kadar Air

*) RH awal adalah 80%

C. Analisis Data
Analisis data menggunakan rancangan faktorial dengan rancangan dasar RAL yang terdiri atas 3 faktor yaitu faktor bagian kayu (kayu gubal dan kayu teras), jenis pemotongan (papan radial dan papan tangensial), serta waktu penggorengan ( 0 jam = kontrol, 1 jam dan 2 jam). Masing perlakuan diulang sebanyak 3 kali. Untuk mengetahui pengaruh masing-masing faktor perlakuan terhadap sifat fisis dan mekanis kayu yang meliputi kekerasan, kerapatan, kadar air kesetimbangan, tingkat perubahan dimensi dan laju perubahan kadar air, maka dilakukan analisis ragam menggunakan software spss 15.0. Jika perlakuan berpengaruh terhadap respon maka dilakukan uji lanjut menggunakan uji Tukey untuk mengetahui perbedaan di antara perlakuan.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN


A. Kerapatan
Peningkatan kerapatan kayu setelah penggorengan ditunjukkan pada gambar 1. Hal ini disebabkan oleh masuknya minyak goreng selama proses penggorengan kayu. Forest Product Society (2002) melaporkan bahwa penggorengan kayu pada suhu sekitar 180-200 oC menyebabkan zat ekstraktif yang mudah menguap dalam kayu mengalami penguapan sehingga bagian kayu yang kosong akan diisi oleh minyak goreng dengan demikan berat kayu akan bertambah, akibatnya kerapatan kayu pun meningkat. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa jenis pemotongan dan bagian kayu berpengaruh tidak nyata terhadap kerapatan kayu sedangkan lama penggorengan berpengaruh nyata. Berdasarkan hasil uji tukey (gambar 2) menunjukkan bahwa penggorengan kayu selama satu jam telah mampu meningkatkan kerapatan kayu secara signifikan. Menurut Bowyer et al. (2003) bahwa kerapatan kayu sangat berhubungan erat dengan sifat fisis dan mekanis kayu terutama kekuatan kayu, sehingga dengan bertambahnya kerapatan kayu maka bertambah pula kemampuan kayu untuk menahan beban.

Gambar 1. Kerapatan Rata-rata Kayu pada Berbagai Perlakuan Penggorengan.

Gambar 2. Pengaruh Lama Penggorengan Terhadap Kerapatan Kayu.
Ket: Huruf Menunjukkan Hasil Uji Tukey dan Huruf yang Berbeda Menunjukkan Perbedaan Nyata pada Taraf Uji 5%.



B. Kekerasan
Kekerasan kayu rata-rata terendah terdapat pada contoh uji yang yang dipotong radial bagian gubal tanpa penggorengan (kontrol) 278.00 kgf sedangkan kekerasan tertinggi terdapat pada contoh uji yang dipotong radial bagian teras pada penggorengan selama 2 jam yaitu 464.67 kgf (Gambar 2). Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa pada penggorengan kayu, cara pemotongan dan bagian kayu berpengaruh tidak nyata terhadap kekerasan kayu tetapi kekerasan ini sangat dipengaruhi oleh lama penggorengan. Semakin lama penggorengan semakin tinggi pula kekerasan kayu (Gambar 4). Semakin tinggi waktu penggorengan menyebabkan semakin tinggi pula jumlah minyak yang mampu mengisi rongga-rongga sel kayu sehingga menyebabkan kemampuan kayu untuk menahan tekanan yang diberikan semakin tinggi, selain itu juga dapat memperlambat waktu kayu untuk retak atau pecah ketika diberi tekanan.


Gambar 3. Kekerasan Rata-Rata Kayu pada Berbagai Perlakuan Penggorengan.

Gambar 4. Pengaruh Lama Penggorengan Terhadap Kekerasan Kayu.
Ket: Huruf Menunjukkan Hasil Uji Tukey dan Huruf yang Berbeda Menunjukkan Perbedaan Nyata pada Taraf Uji 5%.

C. Kadar Air Kesetimbangan
Peningkatan stabilitas dimensi kayu dapat dilakukan dengan menurunkan kadar air kesetimbangan (KAK). Ada beberapa cara yang selama ini dilakukan untuk menurunkan kadar air kesetimbangan kayu secara yaitu dengan pengeringan ke kadar air (KA) = 0% dan pemanasan berulang (Coto 2005).
Penurunan kadar air kesetimbangan kayu akibat penggorengan dapat dilihat pada gambar 5. Berdasarkan gambar 5 menunjukkan bahwa besarnya penurunan kadar air akibat penggorengan berkisar antara 3-5%. Penurunan kadar air kesetimbangan pada proses pemanasan kayu disebabkan oleh perubahan sebagian daerah amorf menjadi kristalin yang berakibat berkurangnya gugus –OH yang tersedia yang berikatan dengan molekul air, selain itu, keberadaan minyak goreng dalam kayu yang bersifat hidrofobik mampu menghalangi penyerapan kayu terhadap air dari lingkungan.
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa kadar air kesetimbangan tidak dipengaruhi secara nyata oleh jenis pemotongan dan bagian kayu tetapi lebih ditentukan oleh lama penggorengan. Berdasarkan hasil uji tukey (gambar 6) menunjukkan bahwa penurunan kadar air kesetimbangan pada penggorengan selama 2 jam akan menyebabkan penurunan kadar air kesetimbangan terbesar, meskipun demikian tidak ada perbedaan yang cukup signifikan pada kadar air kesetimbangan antara penggorengan 2 jam dengan penggorengan 1 jam.


Gambar 5. Kadar Air Kesetimbangan Rata-rata Kayu pada Berbagai Perlakuan Penggorengan.


Gambar 6. Pengaruh Lama Penggorengan Terhadap Kadar Air Kesetimbangan.
Ket: Huruf Menunjukkan Hasil Uji Tukey dan Huruf yang Berbeda Menunjukkan Perbedaan Nyata pada Taraf Uji 5%.


D. Tingkat Perubahan Dimensi
Stabilitas dimensi kayu dapat dinyatakan dalam tingkat perubahan dimensi (TPD) yaitu besarnya perubahan dimensi untuk setiap perubahan kadar air (Coto 2005). Berdasarkan gambar 7 dan 9 menunjukkan bahwa tingkat perubahan dimensi kayu masing-masing pada arah lebar dan tebal mengalami penurunan akibat penggorengan. Hal ini disebabkan oleh sebagian dari struktur amorf selulosa akan berubah menjadi kristalin, yang berakibat pada berkurangnya tangan -OH yang tersedia untuk berikatan dengan molekul air, dan higroskopisitas kayu menurun akibat pemberian panas pada kayu, selain itu pemanasan kayu pada suhu sekitar 200 oC juga menyebabkan dekomposisi sebagian dari hemiselulosa yang menyebabkan penurunan higroskopisitasnya (Coto 2005).
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa tingkat perubahan dimensi pada arah lebar maupun arah tebal tidak dipengaruhi oleh jenis pemotongan dan bagian kayu tetapi lebih dipengaruhi oleh lama penggorengan dan tidak ada perbedaan nyata tingkat perubahan dimensi antara penggorengan 1 jam dan 2 jam (gambar 8 dan 10). Sehingga hal ini mengindikasikan bahwa penggorengan selama 1 jam telah mampu menurunkan tingkat perubahan dimensi secara optimal baik dimensi lebar dan tebal yaitu masing masing menjadi sekitar 0.27 dan 0.36.


Gambar 7. Tingkat Perubahan Dimensi Lebar Rata-rata Kayu pada Berbagai Perlakuan Penggorengan.


Gambar 8. Pengaruh Lama Penggorengan Terhadap Tingkat Perubahan Dimensi Lebar.
Ket: Huruf Menunjukkan Hasil Uji Tukey dan Huruf yang Berbeda Menunjukkan Perbedaan Nyata pada Taraf Uji 5%.



Gambar 9. Tingkat Perubahan Dimensi Tebal Rata-rata Kayu pada Berbagai Perlakuan Penggorengan.

Gambar 10. Pengaruh Lama Penggorengan Terhadap Tingkat Perubahan Dimensi Tebal
Ket: Huruf Menunjukkan Hasil Uji Tukey dan Huruf yang Berbeda Menunjukkan Perbedaan Nyata pada Taraf Uji 5%.


E. Laju Perubahan Kadar Air
Stabilitas dimensi dapat juga diukur dengan laju perubahan kadar air (LPKA) yaitu besaranya perubahan kadar air akibat perubahan kelembaban. Penggorengan kayu dapat menurunkan laju perubahan kadar air (gambar 11). Penurunan laju perubahan kadar air ini disebabkan oleh berkurangnya higrokopisitas kayu akibat penggorengan.
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa laju perubahan kadar air tidak dipengaruhi oleh jenis pemotongan dan bagian kayu tetapi sangat dipengaruhi oleh lama penggorengan. Semakin lama penggorengan cenderung menurunkan laju perubahan kadar air kayu. Meskipun demikian penggorengan selama 1 jam telah mampu menurunkan laju kadar air menjadi 0.06.


Gambar 11. Laju Perubahan kadar Air Rata-rata Kayu pada Berbagai Perlakuan Penggorengan.


Gambar 12. Pengaruh Lama Penggorengan Terhadap Laju Perubahan Kadar Air.
Ket: Huruf Menunjukkan Hasil Uji Tukey dan Huruf yang Berbeda Menunjukkan Perbedaan Nyata pada Taraf Uji 5%.




IV. KESIMPULAN DAN SARAN
Merujuk pada penelitian yang telah dilakukan maka kesimpulan yang dapat ditarik dari penelitian ini adalah:
1. Penggorengan kayu dapat meningkatkan sifat fisis dan mekanis kayu durian yang ditunjukkan dengan peningkatan kerapatan dan kekerasan kayu serta penurunan kadar air kesetimbangan, tingkat perubahan dimensi dan laju perubahan kadar air.
2. Lama penggorengan berpengaruh nyata terhadap sifat fisis dan mekanis kayu sedangkan jenis pemotongan (tangensial dan radial) dan bagian kayu berpengaruh tidak nyata.
3. Semakin lama penggorengan kayu cenderung meningkatkan sifat fisis dan mekanis kayu.
Kayu yang diperoleh dari hutan rakyat dapat ditingkatkan penggunaannya dengan meningkatkan sifat fisis dan mekanisnya melalui penggorengan dan untuk mendapatkan hasil optimal maka penggorengan sebaiknya dilakukan selama 2 jam.

DAFTAR PUSTAKA

Bowyer JL, Shmulsky R, Haygreen JG. 2003. Forest Products and Wood Science: An Introduction. Four Edition. Iowa: Iowa State Press.

Coto Z. 2005. Penurunan Kadar Air Keseimbangan dan Peningkatan stabilitas Dimensi Kayu dengan Pemanasan dan Pengekangan. Jurnal Ilmu & Teknologi Kayu Tropis 3 (1): 27-31.

Forest Products Society. 2002. Enhancing the Durability of Lumber and Engineered Wood Products. Madison: Forest Products Society.
Hill, C. 2006. Wood Modification: Chemical, Thermal and Other Processes. West Sussex: John Wiley & Sons, LTd.
Martawijaya A, Kartasujana I, Kadir K, Prawira SA. 2005. Atlas Kayu Indonesia Jilid I. Bogor: Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Departemen Kehutanan Indonesia.


Cara Menulis Pustaka:Daud M dan Coto Z. 2009. Peningkatan Sifat Fisis dan Mekanis Kayu Durian (Durio sp.) dengan Penggorengan. Simposium Forum Teknologi Hasil Hutan. Bogor, 30-31 Oktober 2009.

Selasa, 20 Oktober 2009

PENINGKATAN SIFAT FISIS DAN MEKANIS KAYU KAYU DURIAN (Durio sp.) MELALUI PEMADATAN DAN KOMPREGNASI DENGAN METIL METAKRILAT (MMA)

PENINGKATAN SIFAT FISIS DAN MEKANIS KAYU KAYU DURIAN (Durio sp.) MELALUI PEMADATAN DAN KOMPREGNASI DENGAN METIL METAKRILAT (MMA)

PHISICAL AND MECHANICAL PROPERTIES ENHANCEMENT OF DURIAN WOOD
(Durio sp.) WITH DENSIFICATION AND METHYL METHACRYLATE (MMA) COMPREGNATION


Muhammad Daud1
Zahrial Coto2
Imam Wahyudi3

1 Mahasiswa Pascasarjana, IPB
Email: daud_forest@yahoo.com
2,3 Guru Besar, Fakultas Kehutanan, IPB

ABTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh impregnasi metil metakrilat (MMA) terhadap sifat fisis dan mekanis kayu kompregnasi. Sampel uji kayu durian (Durio sp.) dipotong menjadi bentuk papan tangensial dengan ukuran 10 cm (l) x 5 cm (t) x 2 cm (r). Selain itu, dibuat juga sampel uji papan radial dengan ukuran 10 cm (l) x 5 cm (r) x 2 cm (t). Masing-masing papan dibuat dari kayu gubal dan kayu teras. Sampel uji kering udara kemudian diimpregnasi dengan MMA yang dilarutkan dalam etanol 96% dengan konsentrasi 10% (v/v) menggunakan pompa vakum. Sampel uji kemudian dibiarkan dalam tangki vakum selama 24 jam. Setelah itu, sampel uji ditiriskan selama 24 jam dan dimasukkan ke dalam oven 40 oC untuk selanjutnya dikempa pada suhu 170 oC selama 5 menit dengan target ketebalan 1,5 cm dan 1,2 cm. Selain itu, dilakukan kompresi kayu tanpa impregnasi MMA dan preheatingpada suhu 170 oC selama 2 jam tanpa impregnasi sebelum proses densifikasi. Sebagai pembanding dilakukan juga pengujian terhadap sampel uji tanpa kompresi (kontrol). Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemansan kayu pada suhu 170 oC selama 2 jam dan impregnasi MMA sebelum proses densifikasi (kompregnasi) dapat meningkatkan kualitas terutama sifat fisis: kerapatan, warna, kehalusan permukaan serta sifat mekanis: stabilitas dimensi (tingkat perubahan dimensi) dan kekerasan kayu kompregnasi.

Kata Kunci: Kayu kompregnasi, Densifikasi, Kompregnasi, Metil Metakrilat (MMA), Sifat Fisis

ABSTRACT

This paper intended to present the results of study at quality enhancement of compressed wood after methyl methacrylate (MMA) compregnation. Samples from durian wood (Durio sp.) were sawn into flatsawn with dimension 10 cm(l) x 5 cm(t) x 2 cm (r). In the other hand, samples from quarter sawn with dimension 10 cm (l) x 5 cm (r) x 2 cm (t) were conducted. Each sample cut both sapwood and heartwood. Oven dry samples were impregnated with MMA that solved in ethanol 96% to get 10%(v/v) in consentration using vakum pump for 24 hours and then ovened on at 40 oC before pressed at 170 oC for 5 minutes till 1,5 cm and 1,2 cm in depth. Besides that, samples were pressed without MMA impregnated before densification and also conducted samples without impregnation and densification as control. Result showed that MMA impregnated before densfication (compregnation) increased physical properties: (density), darkening, softness of surface as well as mechanical properties: dimension stability (rate of dimensional change), hardness on compressed wood.
Key words: Compressed wood, Densification, Impregnated, Methyl Methacrylate (MMA), Physical Properties.


PENDAHULUAN
Latar Belakang
Salah satu manfaat kayu yang sangat penting adalah sebagai bahan konstruksi. Penggunaan kayu sebagai bahan konstruksi telah dilakukan sejak beribu-ribu tahun yang lalu (Thelandersson & Larsen 2003). Dengan adanya perkembangan ilmu pengetahuan di bidang perkayuan, penggunaan kayu sebagai bahan konstruksi pada saat ini telah mempertimbangkan aspek bahan baku terutama sifat dasar kayu, faktor lingkungan yang mempengaruhinya selama pemakaiannya serta desain konstruksinya (Breyer et al. 2003).
Sifat dasar kayu yang sangat berpengaruh dalam penggunaan kayu sebagai bahan konstruksi adalah sifat mekanisnya, kondisi bahan (terutama cacat) dan keawetan bahan (Breyer et al 2003, Bodig & Jayne 1982). Sifat mekanis sangat penting dalam menentukan kecocokan suatu jenis kayu sebagai bahan bangunan dan tujuan konstruksi lainnya. Dalam pemilihan bahan untuk penggunaan struktural, sifat mekanis ini menjadi persyaratan utama (Haygreen & Bowyer 1993).
Meningkatnya jumlah penduduk di Indonesia telah menyebabkan permintaan kayu sebagai bahan baku konstruksi juga meningkat dengan pesat dalam beberapa tahun terarkhir. Peningkatan permintaan kayu di pasaran tersebut menyebabkan penyediaan kayu dari hutan alam mengalami kekurangan pasokan, sehingga berimplikasi pada peningkatan pasokan kayu dari hutan rakyat. Kayu dari hutan rakyat umumnya ditebang pada umur yang masih muda sehingga memiliki banyak kekurangan jika digunakan sebagai kayu konstruksi. Kekurangan tersebut antara lain: berdiameter kecil, kurang awet terhadap serangga perusakan kayu, memiliki kekuatan rendah serta memiliki stabilitas dimensi yang rendah. Untuk meningkatkan kekuatannya maka perlu adanya peningkatan mutu kayunya terutam sifat fisis dan mekanisnya sehingga kayu tersebut dapat digunakan sebagai bahan konstruksi dengan umur pakai lama.
Salah satu cara untuk meningkatkan mutu kayu berkualitas rendah tersebut adalah dengan cara teknik densifikasi kayu dan impregnasi kayu dengan bahan kimia seperti methyl methacrylate (MMA). Oleh karena itu, perlu penelitian tentang pengaruh kompregnasi metil metakrilat (MMA) terhadap sifat fisis dan mekanis kayu kompregnasi pada kayu durian (Durio sp.).
Tujuan dan Kegunaan
Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis pretreatment pemansan pada suhu 170 oC serta impregnasi methyl methacrylate (MMA) sebelum densifikasi (kompregnasi) serta target kerapatan terhadap sifat fisis dan mekanis kayu kompregnasi pada kayu durian. Sedangkan kegunaan adalah sebagai bahan informasi bagi pemanfaatan kayu berkualitas rendah untuk konstruksi kayu sehingga ke depan dapat meningkatkan daya guna kayu rakyat.
METODE PENELITIAN
Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah oven, pompa vakum, timbangan digital, desikator, hot press, Universal Testing Machine (UTM) merk Amsler. Sedangkan bahan yang digunakan adalah sampel uji kayu durian (Durio sp.) dalam bentuk papan tangensial dengan ukuran 10 cm (l) x 5 cm (t) x 2 cm (r) serta sampel uji dalm bentuk papan radial dengan ukuran 10 cm (l) x 5 cm (r) x 2 cm (t), Methyl Methacrylate (MMA), etanol 96%.

Prosedur Penelitian
Sampel uji kayu durian (Durio sp.) dipotong menjadi bentuk papan tangensial dengan ukuran 10 cm (l) x 5 cm (t) x 2 cm (r). Selain itu, dibuat juga sampel uji papan radial dengan ukuran 10 cm (l) x 5 cm (r) x 2 cm (t). Masing-masing papan dibuat dari kayu gubal dan kayu teras. Sampel uji kering udara kemudian diimpregnasi dengan MMA yang dilarutkan dalam etanol 96% dengan konsentrasi 10% (v/v) menggunakan pompa vakum. Sampel uji kemudian dibiarkan dalam tangki vakum selama 24 jam. Setelah itu, sampel uji ditiriskan selama 24 jam dan dimasukkan ke dalam oven 40 oC untuk selanjutnya dikempa pada suhu 170 oC selama 5 menit dengan target ketebalan 1,5 cm dan 1,2 cm. Selain itu, dilakukan kompresi kayu tanpa impregnasi MMA dan preheatingpada suhu 170 oC selama 2 jam tanpa impregnasi sebelum proses densifikasi. Sebagai pembanding dilakukan juga pengujian terhadap sampel uji tanpa kompresi (kontrol). Setelah itu, sampel uji dioven kembali pada suhu 100 oC selama 24 jam, 60 oC selama 24 jam kemudian dikering udarakan kembali dan selanjutnya diuji sifat fisis terutama kerapatan serta sifat mekanisnya terutama stabilitas dimensi yang meliputi tingkat perubahan dimensi (TPD), tingkat perubahan dimensi (TPD) dan T/R ratio. Selain itu dilakukan juga pengujian kekerasan kayu. Rumus untuk menentukan sifat fisis dan mekanis kayu tersebut adalah sebagai berikut:
Kerapatan Kayu (Kr)
Kr=B/V
Di mana: Kr = kerapatan kayu (g/cm2)
B = Berat kayu setelaha dioven 60 oC
V = Volume kayu setelah dioven 60 oC
Tingkat perubahan dimensi (TPD)
TPD= Py/(KaKu-KaRHak) x 100%
TPD = Tingkat perubahan dimensi (%)
Py =Penyusutan Kayu
KaKu = Kadar Air Kering Udara pada RH awal
KaRHak = Kadar Air Kering Udara pada RH akhir

Laju Perubahan Kadar Air (LPKA)
LPKA= (Kaku-Karh )/(RHku-RHak) x 100%
LPKA = Laju Perubahan Kadar Air
KaKu = Kadar Air Kering Udara pada RH awal
KaRHak = Kadar Air Kering Udara pada RH akhir
RHku = RH Kering Udara Awal
RHak = RH Kering Udara Akhir

ANALISIS DATA
Analisis data menggunakan analisis deskriptif dan rancangan faktorial dengan rancangan dasar RAL yang terdiri atas 3 faktor yaitu faktor bagian kayu (kayu gubal dan kayu teras), jenis pemotongan (papan radial dan papan tangensial), serta metode densifikasi (Densifikasi 25%, densifikasi 40%, preheating170 oC + densifikasi 25%, preheating170 oC + densifikasi 45%, kompregnasi 25%, kompregnasi 40%). Masing perlakuan diulang sebanyak 3 kali. Untuk mengetahui pengaruh masing faktor perlakuan terhadap sifat fisis dan mekanis kayu maka dilakukan analisis ragam menggunakan software spss 15.0. Jika perlakuan berpengaruh terhadap respon maka dilakukan uji lanjut menggunakan uji Tukey untuk mengetahui perbedaan di antara perlakuan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kerapatan Kayu
Hasil penelitian menunjukkan bahwa densifikasi dengan target kerapatan masing masing 25% dan 40% dapat meningkatkan kerapatan kayu. Kerapatan rata-rata kayu kompregnasi pada setiap perlakuan densifikasi ditunjukkkan pada Tabel 1. Kerapatan tertinggi terdapat pada perlakuan kompregnasi kayu 40% (impregnasi MMA + densifikasi 40%) bagial gubal yang dipotong secara radial yaitu sekitar 0,6972 g/cm3 sedangkan terendah terdapat kontrol (tanpa densifikasi) bagian gubal dipotong secara tangensial yaitu sekitar 0,3834 g/cm3.

Tabel 1. Kerapatan Rata-rata Kayu kompregnasi pada Berbagai Perlakuan Densifikasi.
Target Ketebalan Kontrol
25% 40%
t r t r t r

Densifikasi G 0.4357 0.4635 0.5102 0.4713 0.3834 0.4090
T 0.4816 0.4365 0.4755 0.4787 0.4183 0.4199
Rata-Rata 0.4543c 0.4839bc 0.4076

Densifikasi +Prehetaing
G 0.4190 0.5235 0.4786 0.5479 - -
T 0.4837 0.4916 0.4944 0.4405 - -
Rata-Rata 0.4795bc 0.4904bc - -
G 0.4948 0.5335 0.6229 0.6972 - -
Kompregnasi T 0.5613 0.5255 0.6501 0.6355 - -
Rata-Rata 0.5288b 0.6514a - -
Ket: Huruf Superscrift Menunjukkan Hasil Uji Tukey dan Huruf yang Berbeda Menunjukkan Perbedaan Nyata pada Taraf Uji 5%.

Hasil analisis ragam terhadap faktor perlakuan menunjukkan bahwa bagian kayu (gubal dan teras), jenis papan (papan radial dan papan tangensial), berpengaruh tidak nyata terhadap kerapatan kayu kompregnasi, sedangkan metode densifikasi berpengaruh nyata. Hal ini mengindikasikan bahwa densifikasi kayu akan menghasilkan kerapatan yang sama antara kayu gubal dengan kayu terasnya serta antara papan tangensial dengan papan radialnya namun kerapatan kayu kompregnasi ini sangat ditentukan oleh metode densifikasi yang dilakukan. Hal ini sesuai dengan pendapat Hill (2006) yang menyatakan bahwa metode densifikasi kayu sangat menentukan sifat kayu kompregnasi. Lebih lanjut dikatakan bahwa densifikasi yang sesuai mampu meningkatkan sifat fisis dan mekanis kayu kompregnasi terutama warna, kerapatan, kestabilan dimensi, kekerasan kayu. Metode densifikasi kayu yang tidak tepat dapat menurunkan sifat mekanis kayu terutama kekuatannya, akibat adanya degradasi komponen polisakarida kayu. Bowyer et al. (2003) menyatakan bahwa kayu teras umumnya memiliki kerapatan yang lebih tinggi dibandingkan dengan kayu gubalnya. Lebih lanjut dikatan bahwa arah pemotongan kayu akan menentukan sifat kayu. Umumnya papan radial memiliki sifat mekanis yang lebih tinggi dibandingkan tangensial. Namun meskipun kedua jenis papan ini berbeda kualitasnya, densifikasi kayu pada berbagai tingkat perlakuan mampu meningkat kerapatan kayu gubal sehingga relatif berkerapatan sama dengan kayu teras, demikian pula dengan papan tangensial mampu menyamai kerapatan kayu radialnya.
Hasil uji Tukey (Tabel 1) terhadap metode densifikasi menunjukkan bahwa perlakuan kompregnasi akan menghasilkan kerapatan tertinggi sedangan densifikasi kayu dengan target ketebalan 25% akan menghasilkan kerapatan yang paling rendah dibandingkan dengan metode densifikasi yang lain. Berdasarkan Gambar 1, peningkatan target ketebalan kayu kompregnasi cenderung meningkatkan kerapatan kayu, demikian pula dengan perlakuan pemanasan selama 2 jam pada suhu 170 oC sesaat sebelum kayu dikempa. Meningkatnya ketebalan kayu sebagai akibat semakin tingginya tekanan yang diberikan akan menyebabkan fiksasi kayu menjadi lebih sempurna dan kayu menjadi lebih pada sehingga demikian kerapatan kayu juga meningkat. Sedangkan preheatingselama 2 jam pada suhu 170 oC sebelum pengempresan menyebabkan kayu menjadi lebih lunak sehingga dengan demikian proses fiksasi kayunya lebih baik jika dipres pada suhu tinggi sehingga kerapatannya meningkat.
Impregnasi kayu dengan MMA sebelum pengempresan juga meningkatkan kerapatan kayu kompregnasi secara signifikan. MMA adalah suatu monomer yang mampu mengisi rongga sel (lumen) dan dapat bereaksi dengan dinding sel sehingga terjadi proses polimerisasi (Hill 2006). MMA mengalami proses setting secara sempurna pada suhu tinggi sehingga dengan demikian dengan impregnasi dengan bahan kimia ini akan cenderung meningkatkan fiksasi kayu pada saat pengempaan pada suhu 170 oC sehingga kerapatan kayu juga meningkat secara signifikan.

Ket:
K : Kontrol
D25 : Densifikasi 25%
D25P: Densifikasi 25% +Preheating
C25 : Kompregnasi 25%

Gambar 1. Sifat Fisis Kompregnasi pada Berbagai Perlakuan
Tingkat Perubahan Dimensi
Perlakuan densifikasi kayu dapat menurunkan TPD pada bagian lebar (bidang tangensial pada papan radial) maupun arah tebalnya. Hal ini ditunjukkan dengan TPD bagian lebar dan tebalnya yang lebih rendah pada kayu kompregnasi dibandingkan dengan kontrolnya (Tabel 2 dan 3).
Tabel 2. TPD Arah Lebar Rata-rata Kayu kompregnasi pada Berbagai Perlakuan Densifikasi
Target Ketebalan Kontrol
25% 40%
t r t r t r
G 0.0696 0.1735 0.1254 0.1121 0.1941 0.2390
Densifikasi T 0.2294 0.0932 0.0683 0.1496 0.2294 0.2707
Rata-Rata 0.1414b 0.1139b 0.2333
G 0.0358 0.1679 0.0000 0.1281
Densifikasi + Preheating T 0.0840 0.0642 0.1590 0.0000
Rata-Rata 0.0880ab 0.0718ab
G 0.0846 0.0451 0.0212 0.0278
Kompregnasi T 0.1510 0.0000 0.0000 0.0000
Rata-Rata 0.0702ab 0.0123b
Ket: Huruf Superscrift Menunjukkan Hasil Uji Tukey dan Huruf yang Berbeda Menunjukkan Perbedaan Nyata pada Taraf Uji 5%.

Hasil analisis ragam terhadap faktor perlakuan menunjukkan bahwa bagian kayu (gubal dan teras) dan jenis pemotongan (papan radial dan papan tangensial), berpengaruh tidak nyata terhadap TPD arah lebar maupun tebal kayu kompregnasi, sedangkan metode densifikasi berpengaruh nyata. Hal ini mengindikasikan bahwa densifikasi kayu akan menghasilkan TPD arah lebar dan tebal yang sama antara kayu gubal dengan kayu terasnya serta antara papan tangensial dengan papan radialnya namun metode densifikasi akan mempengaruhi TPD arah lebar kayu kompregnasi.
Hasil uji Tukey terhadap metode densifikasi menunjukkan bahwa perlakuan kompregnasi 40% dengan MMA akan menghasilkan TPD arah lebar dan tebal terendah sedangkan densifikasi kayu dengan target ketebalan 25% akan menghasilkan TPD arah lebar dan tebal yang paling tinggi dibandingkan dengan metode densifikasi yang lain. Berdasarkan Gambar 1, peningkatan target ketebalan kayu kompregnasi cenderung menurunkan TPD arah lebar dan tebal kayu, demikian pula dengan perlakuan pemanasan selama 2 jam pada suhu 170 oC. .
Impregnasi kayu dengan MMA sebelum pengempresan juga menurunkan TPD arah lebar dan tebal kayu kompregnasi. Impregnasi dengan bahan kimia ini pada proses densifikasi akan cenderung meningkatkan fiksasi kayu pada saat pengempaan sehingga penyusutan menjadi berkurang akibat adanya ikatan silang antara MMA dengan komponen dinding sel. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Stolf & Lahr (2004) yang mengatakan bahwa impregnasi MMA pada wood poymer composites (WPC) dapat meningkatkan stabilitas dimensi komposit tersebut.

Tabel 3. TPD Arah Tebal Rata-rata Kayu kompregnasi pada Berbagai Perlakuan Densifikasi
Target Ketebalan Kontrol
25% 40%
t r t r t r
G 0.1431 0.1860 0.0742 0.0106 0.2775 0.3370
Densifikasi T 0.1870 0.1725 0.0694 0.1067 0.2619 0.2948
Rata-Rata 0.1721a 0.0652ab 0.2360
G 0.0351 0.1608 0.0000 0.0295
Densifikasi + Preheating T 0.1147 0.1067 0.1323 0.0246
Rata-Rata 0.1043ab 0.0667b
G 0.0091 0.0799 0.0000 0.0973
Kompregnasi T 0.0822 0.0000 0.0000 0.0000
Rata-Rata 0.0428b 0.0243b

Ket: Huruf Superscrift Menunjukkan Hasil Uji Tukey dan Huruf yang Berbeda Menunjukkan Perbedaan Nyata pada Taraf Uji 5%.

Laju Perubahan Kadar Air
Densifikasi kayu dapat menurunkan laju perubahan kadar air (LPKA). Hal ini ditunjukkan dengan lebih rendahnya LPKA kayu yang memperoleh perlakuan densifikasi dibandingkan kotrolnya (Tabel 4). Hasil analisis ragam terhadap faktor perlakuan menunjukkan bahwa bagian kayu (gubal dan teras) dan jenis pemotongan (papan radial dan papan tangensial), berpengaruh tidak nyata terhadap LPKA kayu kompregnasi, sedangkan metode densifikasi berpengaruh nyata. Hal ini mengindikasikan bahwa densifikasi kayu akan menghasilkan LPKA yang sama antara kayu gubal dengan kayu terasnya serta antara papan tangensial dengan papan radialnya namun TPD kayu kompregnasi ini sangat ditentukan oleh metode densifikasi yang dilakukan.
Hasil uji Tukey terhadap metode densifikasi menunjukkan bahwa perlakuan densifikasi 40% dengan MMA akan menghasilkan LPKA arah tebal terendah sedangkan densifikasi kayu dengan target ketebalan 45% + pretreatment akan menghasilkan LPKA yang paling tinggi dibandingkan dengan metode densifikasi yang lain (Gambar 1).
Tabel 4. LPKA Rata-rata Kayu kompregnasi pada Berbagai Perlakuan Densifikasi.

Target Ketebalan Kontrol
25% 40%
t r t r t r
G 0.1309 0.1448 0.1401 0.1172 0.1570 0.1614
Densifikasi T 0.1445 0.1308 0.1013 0.6590 0.1758 0.1603
Rata-Rata 0.1378d 0.2544c 0.1636
G 0.0849 0.0863 0.0701 0.0481
Densifikasi +Preheating T 0.0656 0.0991 0.1058 0.0782
Rata-Rata 0.0840c 0.0756b
G 0.0569 0.0572 0.0396 0.0440
Kompregnasi T 0.0762 0.0534 0.0334 0.0339
Rata-Rata 0.0609b 0.0377ab
Ket: Huruf Superscrift Menunjukkan Hasil Uji Tukey dan Huruf yang Berbeda Menunjukkan Perbedaan Nyata pada Taraf Uji 5%.


Kekerasan Kayu
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan densifikasi berpengaruh nyata terhadap kekerasan kayu kompregnasi pada taraf uji 5% dengan hasil uji Tukey perbedaan kekerasan pada masing-masing perlakuan kayu kompregnasi ditunjukkkan pada Tabel 6. Berdasarkan Gambar 1, densifikasi kayu dapat meningkatkan kekerasan kayu secara signifikan yang ditunjukkan tingginya kekerasan kayu dibandinmgkan dengan perlakuan kotrolnya.








Tabel 5. Kekerasan (kgf) Rata-rata Kayu kompregnasi pada Berbagai Perlakuan Densifikasi
Target Ketebalan Kontrol
0.25 0.40
t r t r t r
G 350.00 339.33 381.33 335.33 230.00 265.33
Densifikasi T 359.33 324.67 386.67 321.33 254.00 294.00
Rata-Rata 343.33d 356.17cd 260.83
G 411.33 324.67 422.67 406.00
Densifikasi + Preheating T 339.33 420.00 381.33 324.33
Rata-Rata 375.83cd 383.58c
G 382.67 526.00 420.33 563.67
Kompregnasi T 383.33 373.33 482.33 460.33
Rata-Rata 416.33b 481.67a
Ket: Huruf Superscrift Menunjukkan Hasil Uji Tukey dan Huruf yang Berbeda Menunjukkan Perbedaan Nyata pada Taraf Uji 5%.


Hasil analisis ragam terhadap faktor perlakuan menunjukkan bahwa bagian kayu jenis pemotongan (papan radial dan papan tangensial) berpengaruh tidak nyata terhadap LPKA kayu kompregnasi, sedangkan (gubal dan teras) dan metode densifikasi berpengaruh nyata. Hal ini mengindikasikan bahwa densifikasi kayu akan menghasilkan kekerasan yang sama antara antara papan tangensial dengan papan radialnya namun kekerasan kayu kompregnasi ini sangat ditentukan oleh bagian kayu yang digunakan yaitu antara kayu gubal dengan kayu terasnya. Selain itu, juga sangat ditentukan oleh metode densifikasi yang dilakukan.
Hasil uji Tukey terhadap faktor bagian kayu menunjukkan bahwa kayu gubal cenderung menghasilkan kekerasan yang lebih tinggi dibandingkan kayu terasnya. Hal ini disebabkan oleh banyaknya ruang kosong pada kayu gubal sehingga pada saat pengepresan akan menghasilkan kerapan yang cenderung lebih tinggi serta pada saat diimpregnasi dengan MMA akan lebih mudah diimpregnasi sehingga jumlah MMA yang masuk ke dalam kayu gubal lebih tinggi sehingga akan menghasilkan kekerasan kayu yang lebih tinngi dibandingkan kayu terasnya. Sedangkan hasil uji Tukey terhadap faktor metode densifikasi menunjukkan bahwa perlakuan densifikasi 25% dengan MMA akan menghasilkan kekerasan kayu yang paling rendah sedang kekerasan paling tinggi terdapat pada metode densifikasi dengan kompregnasi 40%. Peningkatan target ketebalan kayu kompregnasi akan meningkatkan kekerasan kayu demikian pula dengan pemberian preheatingpada suhu 170 oC selama jam sebelum pengempaan. Impregnasi kayu dengan MMA sebelum kayu dikempa akan meningkatkan kekerasan kayu secara signifikan. Hal ini disebabkan sifat MMA yang mampu mengisi rongga sel dan mengisi dinding sel melalui ikatan dengan komponen kimia dinding sel sehingga dapat meningkatkan kestabilan dimensi dan kekerasan kayu kompregnasi.

Penampilan Kayu kompregnasi
Hasil pengamatan secara visual terhadap kayu kompregnasi menunjukkan bahwa densifikasi kayu dengan target kerapatan kayu 40% dan 25% tidak menyebabkan perubahan warna kayu secara signifikan namu pemberian preheatingpada suhu 170 oC selama dua jam cenderung menyebabkan warna menjadi lebih gelap dan mengkilap (Gambar 2), sedangkan impregnasi menyebabkan kayu menjadi lebih cerah. Hal ini sesuai dengan pendapat Hill (2006) yang menyatakan bahwa pemanasan kayu pada suhu tinggi (170 oC) menyebabkan warna kayu menjadi lebih gelap yang disebabkan oleh adanya degradasi hemiselulosa sehingga kadar lignin menjadi tinggi dan juga disebabkan penyusunan kembali komponen dinding sel dengan meningkatkan ikatan silang antara lignin yang satu dengan lignin yang lain dan komponen polisakarida sehingga menyebabkan kayu menjadi lebih gelap pada saat dikempa pada suhu tinggi.
Pengempresan kayu pada pada semua metode densifikasi akan meningkatkan kehalusan permukaan kayu kompregnasi. Kehalusan permukaan tertinggi terdapat pada perlakuan kompregnasi, diikuti densifikasi dengan pretreatnment pemansan 170 oC dan terendah pada densifikasi biasa.

Gambar 2. Perubahan Warna Kayu Akibat Densifikasi Kayu.
KESIMPULAN DAN SARAN

Densifikasi kayu dapat meningkatkan sifat fisis dan mekanis kayu kompregnasi terutama kerapatan, tingkat perubahan dimensi (TPD) pada lebar dan tebal, laju perubahan kadar air (LPKA), dan kekerasan kayu baik pada kayu gubal maupun papan tangensial yang masing-masing menyamai kualitas kayu teras dan papan radialnya. Preheating pada suhu 170 oC selama dua jam serta kompregnasi kayu dengan MMA dapat meningkatkan sifat fisis dan mekanis kayu kompregnasi. Untuk meningkatkan fikasi kayu pada kompregnasi dengan MMA maka disarankan menggunakan preheating pada suhu 170 oC selama 2 jam.


DAFTAR PUSTAKA

Bodig J, Jayne BA. 1982. Mechanics of Wood and Wood Composites. New York: Van Nostrand Reinhold Company.

Breyer DE, Friedly KJ, Pollock DG, Cobeen KE. 2003. Design of Wood Structures-ASD. Fifth Edition. New York: McGraw-Hill.

Bowyer JL, Shmulsky R, Haygreen JG. 2003. Forest Products and Wood Science: An Introduction. Four Edition. Iowa: Iowa State Press.

Coto Z. 2005.Penurunan Kadar Air Keseimbangan dan Peningkatan stabilitas Dimensi Kayu dengan Pemanasan dan Pengekangan. Jurnal Ilmu & Teknologi Kayu Tropis 3 (1): 27-31.

Haygreen JG, Bowyer JL. 1993. Hasil Hutan dan Ilmu Kayu: Suatu Pengantar. Hadikusumo SA, penerjemah. Yogyakarta: Gadja Mada University Press.

Hill C. 2006. Wood Modification: Chemical, Thermal and Other Processes. West Sussex: John Wiley & Sons.

Stolf DO, Lahr PAR. 2004. Wood Polymer Composites: Physical and Mechanical Properties of Some Wood Species Impregnated with Styrene and Methyl Methacrylate. Journal of Material Research 7 (4): 611-617.

Thelandersson S, Larsen HJ. 2003. Timber Engineering. West Sussex: John Wiley and Sons.

Cara Menulis Pustaka:Daud M, Coto Z, Wahyudi I. 2009. Peningkatan Sifat Fisis dan Mekanis Kayu Kayu Durian (Durio sp.) Melalui Pemadatan dan Kompregnasi dengan Metil Metakrilat (MMA). Seminar Nasional Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XII. Bandung, 23-25 Juli 2009.

Senin, 17 Agustus 2009

PENGEMBANGAN TEBAL DAN SIFAT ANATOMI KAYU KOMPREGNASI SETELAH PERLAKUAN PEREBUSAN AWAL

PENGEMBANGAN TEBAL DAN SIFAT ANATOMI KAYU KOMPREGNASI SETELAH PERLAKUAN PEREBUSAN AWAL

SWELLING OF THICKNESS AND ANATOMYCAL PERFORMANCE COMPREGNATED WOOD AFTER BOILING PRETREATED


Muhammad Daud1
Imam Wahyudi2
Zahrial Coto3

1 Mahasiswa Pascasarjana, IPB
Email: daud_forest@yahoo.com
2,3 Guru Besar, Fakultas Kehutanan, IPB

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh perebusan terhadap pengembangan tebal dan sifat anatomi beberapa jenis kayu tropis setelah diimpregnasi phenol formaldehida (PF) dan didensifikasi pada suhu tinggi. Tiga jenis kayu tropis berkerapatan rendah yaitu kayu sengon (Paraserianthes falcataria), kayu manii (Maesopsis eminii) dan durian (Durio sp.) dipotong dengan ukuran 3 cm (l) x 3 cm (t) dan 3 (r). Sampel uji kering udara dikukus selama 24 jam, dan sebagai pembanding dibuat pula sampel uji tanpa perebusan (kontrol). Sampel uji dengan perebusan dan tanpa perebusan kemudian diimpregnasi dengan PF yang dilarutkan dengan etanol 96% pada konsentrasi 2% (v/v) untuk selanjutnya dikempa pada suhu 170 oC selama 5 menit dengan target ketebalan 1,5 cm. Selain itu, dilakukan juga pengujian tanpa impregnasi PF sebelum proses pengempaan. Semua sampel uji kemudian direndam dalam air dingin selama 24 jam untuk melihat pengaruh perlakuan terhadap pengembangan tebal sampel uji. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengembangan tebal kayu terendah terdapat pada kayu sengon dan kayu manii serta tertinggi pada kayu durian. Perebusan sampel uji dan impregnasi FP sebelum proses densifikasi menyebabkan penurunan pengembangan tebal sampel uji. Pengamatan anatomi menunjukkan bahwa impregnasi PF dan densifikasi tidak menyebabkan kerusakan sifat anatomi kayu kompregnasi namun impregnasi PF tanpa perebusan cenderung menyebakan kerusakan sel serabut dan sel pembuluh kayu manii dan kayu durian.

Kata Kunci: Perebusan, Kayu kompregnasi, Impregnasi, Phenol Formaldehida, Anatomi Kayu

ABSTRACT

This study aims to analysis the effect of boiling-pretreated for swelling of thickness and anatomycal performance from several tropical wood species after phenol formaldehyde (PF) impregnated and compressed at high temperature. Three different tropical wood species with low density there were sengon wood (Paraserianthes falcataria), manii wood (Maesopsis eminii) and durian wood (Durio sp.) were made 3 cm (l) x 3 cm (t) x 3 cm (r) in dimensions. Samples at oven dry were boiling-pretreated for 24 hours and as control it was tested sample without boiling-pretreated. Samples with and without boiling-pretreated then were impregnated with PF was solved in ethanol 96% to get 2% in concentration. Then, samples were pressed at 170 oC for 5 minutes till 1,5 cm in depth. In the other hand, it was also tested wood pressed without PF impregnated. All of samples were soaked in water to know effect of treatment for swelling of thickness of compressed wood. Results showed that swelling of thickness was lowest in sengon and africa wood and highest in durian wood. Boiling pretreated and PF impregnated reduced swelling of thickness compressed wood. There was not significant effect PF impregnated and densification for anatomical performance on sengon and africa wood, but it has caused splitting of vessel and fiber cells on durian wood.
Key words: Boiling, Compressed Wood, Impregnation, Phenol Formaldehyde, Anatomycal Perfomance


PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kayu merupakan bahan baku yang banyak digunakan secara luas dalam bidang konstruksi dan bangunan. Sebagai bahan baku konstruksi maka sifat bahan baku tersebut harus mampu menahan beban selama penggunaannya sehingga untuk keperluan konstruksi kekuatan kayu menjadi suatu persyaratan utama.
Kerapatan kayu sangat berhubungan dengan sifat fisis dan mekanis kayu terutama kekuatan kayu. Semakin rendah kerapatan kayu maka menunjukkan volume rongga sel kayu tersebut semakin tinggi dan sebaliknya semakin tinggi kerapatan kayu maka menunjukkan volume rongga sel kayu tersebut semakin rendah (Bowyer et al 2003). Semakin tinggi kerapatan menunjukkan kesesuaian bahan tersebut untuk digunakan sebagai bahan struktural karena memiliki kekuatan yang tinggi (Thelandersson & Larsen 2003). Oleh karena itu, salah satu cara untuk meningkatkan daya guna kayu berkualitas rendah terutama jenis-jenis kayu yang berasal dari hutan rakyat untuk keperluan struktural dapat dilakukan dengan cara meningkatkan kerapatannya dengan cara teknik densifikasi kayu.
Metode densifikasi kayu secara permanen dapat dilakukan dengan cara perekatan atau modifikasi kimia, pemberian suhu tinggi pada keadaan kering dan perlakuan uap air suhu tinggi pada kondisi basah (Amin & Dwianto 2006). Densifikasi kayu yang paling efisien adalah dengan cara pengempaan pada suhu tinggi akan tetapi metode ini membutuhkan waktu sekitar 20 jam pada suhu 180 oC untuk mencapai fiksasi yang permanen sehingga pada saat pemakaiannya tidak mengembang ke ketebalan semula (Dwianto et al. 1997 dalam Amin & Dwianto 2006) Oleh karena itu, salah satu cara untuk meningkatkan fiksasi kayu kompregnasi tersebut adalah dengan cara menurunkan pengembangan tebal melalui modifikasi proses pendahuluan seperti dengan cara merebus sampel uji dan mengimpregnasikan perekat phenol formaldehida (PF) ke dalam kayu sebelum proses densifikasi sehingga diharapkan mengurangi pengembangan tebal kayu kayu kompregnasi, menurunkan waktu pengempaan dan kerusakan sifat anatomi kayu kompregnasi akibat densifikasi pada tekanan dan suhu tinggi.
Tujuan dan Kegunaan
Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis pengaruh perebusan dan impregnasi PF terhadap pengembangan tebal dan sifat anatomi kayu kompregnasi dari beberapa jenis kayu tropis dari hutan rakyat. Penelitian ini diharapkan menjadi sumber informasi bagi peningkatan penggunaan kayu berkualitas rendah terutama yang diperoleh dari hutan rakyat untuk keperluan konstruksi.

METODE PENELITIAN
Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah penangas air, timbangan digital, hot press, desikator. Bahan yang digunakan adalah sampel uji ukuran 3 cm (l) x 3 cm (t) dan 3 (r) dari tigas jenis kayu rakyat berkerapatan rendah yaitu kayu sengon, kayu manii dan durian, phenol formaldehida (PF), etanol 96%.

Prosedur Penelitian
Tiga jenis kayu dari hutan rakyat berkerapatan rendah yaitu kayu sengon (Paraserianthes falcataria), kayu manii (Maesopsis eminii) dan durian (Durio sp.) dipotong dengan ukuran 3 cm (l) x 3 cm (t) dan 3 (r). Sampel uji kering udara dikukus selama 24 jam, dan sebagai pembanding dibuat pula sampel uji tanpa perebusan (kontrol). Sampel uji dengan perebusan dan tanpa perebusan kemudian diimpregnasi dengan PF yang dilarutkan dengan etanol 96% pada konsentrasi 2% (v/v) untuk selanjutnya dikempa pada suhu 170 oC selama 5 menit dengan target ketebalan 1,5 cm. Selain itu, dilakukan juga pengujian tanpa impregnasi PF sebelum proses pengempaan. Kayu yang telah dikempa selanjutnya diukur tebalnya (Taw). Kemudian dilakukan pengujian pengembangan tebal dengan cara merendam semua sampel uji ke dalam air dingin selama 24, kemudian tebal setelah perendaman (Tak) diukur kembali. Besarnya pengembangan tebal (Pg) dihitung dengan menggunakan rumus:

Pgt= (Tak-Taw)/Taw x 100%

Pgt : Pengembangan Tebal Kayu kompregnasi (%)
Taw : Tebal Awal Sample Uji (cm)
Tak : Tebal Akhir Sampel Uji (cm)


Analisis Data

Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan acak lengkap yang terdiri atas 3 faktor yaitu jenis kayu sengon, kayu manii dan durian. Perlakuan perebusan (tanpa dan dengan perebusan), perlakuan impregnasi (tanpa dan dengan impregnasi PF). Untuk mengetahui pengaruh masing faktor perlakuan terhadap pengembangan tebal kayu kompregnasi maka dilakukan analisis ragam menggunakan software software spss 15.0. Jika perlakuan berpengaruh terhadap respon maka dilakukan uji lanjut menggunakan uji Tukey untuk mengetahui perbedaan di antara perlakuan.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengembangan tebal kayu kompregnasi bervariasi antara 15,25-100,73% dengan pengembangan rata-rata ditunjukkan pada Gambar 1. Berdasarkan Gambar 1, pengembangan tebal rata-rata tertinggi terdapat pada sampel uji kayu sengon tanpa perebusan dan impregnasi PF sedangkan pengembangan tebal terendah terdapat pada sampel uji kayu sengon dengan perebusan dan impregnasi PF sebelum densifikasi.
Berdasarkan hasil analisis ragam menunjukkan bahwa jenis kayu, perlakuan perebusan dan perlakuan impregnasi FP berpengaruh nyata terhadap pengembangan tebal pada taraf uji 5%. Hal ini mengindikasikan bahwa pengembangan tebal kayu kompregnasi sangat tergantung pada jenis kayu dan perlakuan pendahuluan seperti perebusan dan impregnasi PF. Hasil uji Tukey (Gambar 1) menunjukkan bahwa perebusan kayu sebelum proses densifikasi mampu meningkatkan fiksasi kayu yang ditunjukkan dengan penurunan pengembangan tebal kayu kompregnasi. Perebusan kayu menyebabkan hilangnya zat ekstraktif yang bersifat volatil dan mudah larut dalam air. Selain itu perebusan kayu juga dapat menyebabkan pengembangan selulosa sehingga kristalinitasnya menurun (Fengen & Wegener 1995). Penurunan kristalinitas selulosa ini menyebakan kayu menjadi lunak sehingga pada proses pengempresan kayu pada suhu tinggi menjadi lebih sempurna dan proses fiksasi kayu meningkat secara signifikan.

Ket: Huruf di Belakang Setiap Angka Menunjukkan Hasil Uji Tukey dan Huruf yang Berbeda Menunjukkan Perbedaan Nyata pada Taraf Nyata 5%.

Gambar 1. Pengembangan Tebal Rata-Rata Kayu kompregnasi pada Berbagai Jenis Perlakuan Densifikasi
Impregnasi dengan PF juga mampu menurunkan pengembangan tebal kayu kompregnasi. PF merupakan jenis perekat yang bersifat thermosetting dan tahan terhadap air sehingga banyak digunaan pada penggunaan eksterior (Pizzi 1983). Impregnasi PF pada kayu sebelum proses densifikasi kayu menyebabkan perekat ini mengisi lumen dan dinding sel sedangkan proses polimerisasinya terjadi pada saat pengempaan suhu tinggi. Hal sesuai pendapat Hill (2006) yang menyatakan bahwa impregnasi perekatan seperti PF ke dalam kayu menyebabkan perekat ini berpenetrasi ke dalam dinding sel sehingga kayu menjadi lebih stabil terutam terhadap pencuacaan serta kayu menjadi lebih resisten terhadap organisme perusak kayu.
Pada densifikasi kayu tanpa perlakuan perebusan dan impregasi PF, faktor jenis kayu sangat menentukan, namun pemberian pretreatment seperti perebusan dan impregnasi PF mampu menurunkan variabilitas kayu akibat perbedaan jenis kayu sehingga menghasilkan fiksasi kayu yang relatif sama. Meskipun demikian impregnasi kayu tanpa didahului perebusan kayu menyebabkan beberapa keretakan pada kayu manii dan kayu durian. Pengaruh jenis kayu pada kayu kompregnasi disebabkan oleh perbedaan respon setiap jenis kayu terhadap panas terutama diakibatkan oleh perbedaan kandungan lignin dan polisakarida (Hill, 2006). Pemberian suhu tinggi di atas suhu 120 oC (Amin dan Dwianto 2006) menyebabkan lignin dan hemiselulosa mengalami pelunakan. Pengempresan pada suhu sekitar 170 oC dapat menyebabkan ikatan lignin menjadi lebih renggang sehingga dengan adanya pengempresan menyebabkan lignin teresebut mengalami pengikatan kembali melalui ikatan antara gugus metoksil pada cincin aromatik lignin (Forest Products Society 2002) sehingga dapat mempercepat terjadinya deformasi sel penyusun kayu dan fiksasi.
Hasil pengamatan dengan menggunakan mikroskop menunjukkan bahwa pengepresan pada suhu tinggi (170 oC) kayu yang telah diberi perlakuan perebusan dan impregnasi PF umumunya tidak menyebabkan kerusakan sifat anatomi kayu kompregnasi namun impregnasi PF tanpa perebusan cenderung menyebakan kerusakan sel serabut dan sel pembuluh kayu manii dan kayu durian (Gambar 2).
Kerusakan anatomi pada kayu manii dan kayu manii disebabkan oleh belum sempurnanya proses pelunakan sebelum pengempresan pada suhu tinggi sehingga pengempresaan pada target kerapatan 50% menyebabkan sel-sel tersebut tidak mampu menahan beban sehingga akhirnya mengalami kerusakan permanen. Selain itu juga diduga disebabkan respon panas kayu tersebut kurang baik sehingga diperlukan modifikasi awal seperti perebusan untuk memperbaiki respon panas pada kayu manii dan durian tersebut


Ket:
A: Kayu kompregnasi Sengon Tanpa Perebusan dan Tanpa Impregnasi PF.
B: Kayu kompregnasi Manii Tanpa Perebusan dan Tanpa Impregnasi PF.
C: Kayu kompregnasi Durian Tanpa Perebusan dan Tanpa Impregnasi PF.
D: Kayu kompregnasi Sengon dengan Perebusan dan Impregnasi PF.
E: Kayu kompregnasi Manii Tanpa Perebusan dan Impregnasi PF.
F: Kayu kompregnasi Durian Tanpa Perebusan dan Impregnasi PF.

Gambar 2. Struktur Anatomi Kayu kompregnasi pada Berbagai Jenis Perlakuan Densifikasi.











KESIMPULAN DAN SARAN
Perebusan sampel uji dan impregnasi FP sebelum proses densifikasi menyebabkan penurunan pengembangan tebal sampel uji. Pengamatan anatomi menunjukkan bahwa impregnasi PF dan densifikasi tidak menyebabkan perubahan sifat anatomi kayu sengon dan kayu manii namun impregnasi PF tanpa perebusan dapat menyebabkan kerusakan pada sel-sel pembuluh dan sel serabut kayu manii dan kayu durian. Untuk meningkat fiksasi kayu kompregnasi maka perlu penambahan konsentrasi PF dan modifikasi suhu dan tekanan pengempaan.


DAFTAR PUSTAKA

Amin Y, Dwianto W. 2006. Pengaruh Suhu dan Tekanan Uap Air terhadap Fiksai Kayu Kompresi dengan Menggunakan Close System Compression. Jurnal Ilmu & Teknologi Kayu Tropis 4 (2): 19-24.

Bowyer JL, Shmulsky R, Haygreen JG. 2003. Forest Products and Wood Science: An Introduction. Four Edition. Iowa: Iowa State Press.

Fengel, D, Wegener G. 1995. Kayu: Kimia, Ultrastruktur, Reaksi-Reaksi. Satrohamidjojo H, penerjemah. Yogyakarta: Gadja Mada University Press.
Forest Products Society. 2002. Enhancing the Durability of Lumber and Engineered Wood Products. Florida: Forest Products Society.
Hill C. 2006. Wood Modification: Chemical, Thermal and Other Processes. West Sussex: John Wiley & Sons.

Pizzi A. 1983. Wood Adhesives: Chemistry and Technology. New York: Marcel Dekker, Inc.

Thelandersson S, Larsen HJ. 2003. Timber Engineering. West Sussex: John Wiley and Sons.


Cara Menulis Pustaka: Daud M, Wahyudi I, Coto Z. 2009. Pengembangan Tebal dan Sifat Anatomi Kayu Kompregnasi Setelah Perlakuan Perebusan Awal. Seminar Nasional Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XII. Bandung, 23-25 Juli 2009.

Rabu, 22 Juli 2009

Kajian Penerapan Kebijakan Penyusunan Skripsi Timbal Balik di UNHAS dalam Usaha Penyelamatan Hutan di Indonesia

Kajian Penerapan Kebijakan Penyusunan Skripsi Timbal Balik di UNHAS dalam Usaha Penyelamatan Hutan di Indonesia1

Oleh
Muhammad Daud, S.Hut.2
1)Ditulis dalam Rangka Peringatan Hari Bumi “Sound of Tropical Foreston East Indonesia”,
22 April 2008, Earth Care Indonesia, Universitas Hasanuddin, Makassr
2) Alumni Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin

Saat ini keadaan hutan Indonesia sangat memprihatinkan, pada tahun 1950 luas hutan berkisar 162 juta hektar, namun 2001 sekitar 40% dari luas hutan ini telah habis ditebang. Berdasarkan laporan FWI dan GFW (2001) menunjukkan bahwa luas tutupan hutan pada tahun 2001 tinggal 98 juta hektar. Hal ini disebabkan oleh tigginya laju kerusakan hutan di Indonesia. Laju kerusakan hutan pada tahun 1980-an sekitar 1 juta ha per tahun, kemudian meningkat menjadi sekitar 1,7 juta ha per tahun pada awal 1990-an. Sejak tahun 1996 laju deforestasi meningkat lagi sekitar 2 juta ha per tahun.
Tingginya laju kerusakan hutan yang terjadi Indonesia disebabkan oleh kebijakan pemerintah yang mendorong ekspansi yang agresif dalam sektor hasil-hasil hutan tanpa mengindahkan pasokan-pasokan yang berkelanjutan dalam jangka panjang. Produksi kayu bulat tahunan Indonesia meningkat dari sekitart 11 juta m3 pada awal tahun 1970-an hingga puncaknya sekitar 36 juta m3 pada awal tahun 1900-an. Ekspansi yang lebih dramatis terjadi di sektor produk kayu olahan, karena pemerintah mendorong pengalihan dari produk kayu bulat bernilai rendah dan belum diproses menjadi produk yang mempunyai nilai tambah yang lebih tinggi.
Total permintaan kayu di Indionesia sekarang ini secara konservatif diperkirakan antara 76 juta m3dan 80 juta m3. Pesatnya permintaan kayu ternyata hanya diimbangi oleh pasokan yang statis atau menurun. Sebuah studi yang dilakukan oleh Brown ( 1999) membandingkan kapasitas produksi pabrik kayu lapis dan pabrik kayu gergajian pada tahun 1998 dengan pasokan kayu legal dari HPH dan HTI yang mempunyai hubungan dengan pabrik-pabrik tersebut, serta produksi kayu yang berasal dari konversi hutan, menyimpulkan bahwa kesenjangan antara pasokan yang diketahui dan legal dengan keluaran pabrik mendekati 21 juta m3 pada tahun tersebut ( FWI dan GFW, 2001).
Studi lainnya mengenai situasi pada tahun 1997 dan 1998 membandingkan pasokan kayu nasional (produk legal ditambah impor) dengan komsumsi kayu nasional (penggunaan domestic ditambah eksport) (Scotland, 2000). Studi ini menemukan bahwa komsumsi melebihi pasokan sebesar 32,6 juta m3 ( FWI dan GFW, 2001).
Tabel 1. Perbandingkan pasokan kayu nasional (produk legal ditambah impor) dengan komsumsi kayu nasional (penggunaan domestic ditambah eksport).
No. Sumber Pasokan dan Permintaan Kayu Volume (m3)*
1. Kayu bulat dari produksi domestik
Pasokan kayu bulat yang ekuivalen dari impor
Pasokan kayu Bulat yang ekuivalen dari sumber lainnya
Total Pasokan 29.500.000
20.427.000
1.600.000
51.527.000
2. Permintaan Domestik (Industri pengolahan Kayu)
Kayu bulat ekuivalen yang diekspor
Total Permintaan 35.267.000
48.873.000
84.140.000
3. Neraca Kayu -32.613.000
Sumber : N. Scotland. ” Indonesia Country Paper on Illegal Logging”. Dibuat untuk
lokakarya World Bank_WWF mengenai Country of Illegal logging in East
Asia. Jakarta, 28 Agustus 2000.
Keterangan : * Kayu Bulat Ekuivalen




Kesenjangan-kesenjangan di atas menunjukkan bahwa industri-industri perkayuan di Negara Indonesia masih belum didasarkan pengelolaan dan pemanfaatan hutan yang baik. Efisiensi indutri yang masih rendah ini juga disebabkan oleh penerapan teknologi dan sumber daya manusia yang belum memadai.
Menanggapi permasalahan tersebut maka diperlukan suatu usaha untuk menyelamatkan hutan tersebut. Usaha-usaha tersebut dapat dilakukan mengurangi ketergantung terhadap kayu melalui optimalisasi pemanfaatan kayu, pemanfaat kayu kurang dikenal (lesser known species), perubahan paradigama yang berorientasi kayu (timber oriented) ke pengelolaan hutan berbasis sumber daya (forest resources management). Di mana hutan bukan lagi dipandang sebagai penghasil kayu semata tetapi hutan merupakan suatu kesatuan sumber daya dan satu suatu kesatuan ekosistem yang saling saling mendukung. Usaha lain dapat dilakukan dengan penghematan pemanfaatan kayu.
Perguruan tinggi sebagai katalisator pembangunan kehutanan haruslah menjadi inovator dan motivator untuk membangun suatu konsep baru guna meyelamatkan hutan. Salah satu usaha perguruan tinggi terutama Universitas Hasanuddin yang merupakan universitas terbaik di Indonesia timur dalam usaha penyelamatan hutan melalui penghematan kayu tersebut adalah penerapan kebijakan penyusunan skripsi timbal balik.

Berdasarkan hasil survei terbaru menyebutkan bahwa survei penggunaan kertas untuk penyusunan skripsi setiap tahun di UNHAS ditunjukkan oleh Tabel 2. Melalui data tersebut penulis berusaha untuk mengkaji manfaat penerapan kebijakan tersebut terhadap usaha penyelamatan hutan.
Tabel 2. Rata-rata penggunaan Kertas dalam penyusunan Skripsi Setiap fakultas di Universitas hasanuddin (RIM/tahun).

Fakultas Rata-rata Penggunaan Kertas dalam penyusunan skripsi (RIM/tahun)
FKM 2,4
KedokteranGigi 1,5
FISIP 2,042
EKONOMI 2
SASTRA 1,821
HUKUM 2,1
PERTANIAN 2,5
TEKNIK 2,82
FIKP 3,15
PETERENAKAN 2,13
MIPA 2,4
FARMASI 3,35
KEHUTANAN 2,364
Rata-Rata Pemakaian Kertas 2,3520
Sumber: Data Primer Setelah Diolah, 2008).






Sebelum menganalisis besarnya luas hutan dan volume kayu yang dibutuhkan untuk membuat kertas skripsi tersebut maka perlu dibuat beberapa asumsi:
a. Kayu yang digunakan berasal dari tegakan seumur tanaman Akasia (Acacia mangium).
b. Tegakan ini mempunyai kerapatan 265,4 m3/ha dengan umur tegakan 8 tahun.
c. Daur yang digunakan pada preskripsi pengelolaan adalah daur teknis (bahan baku pulp) yaitu 8 tahun.
d. Jarak tanam pohon akasia adalah 3 m x 3 m
e. Jumlah pohon dalam 1 hektar adalah 1111 pohon
Untuk pengolahan dan analisis data maka industri kertas tersebut dianggap diperoleh dari satu jenis tegakan yaitu tegakan Akasia (Acacia mangium). Tegakan ini dianggap sebagai tegakan seumur dengan umur saat ini adalah 8 tahun (daur produksi kayu untuk industri kertas). Adapun rata-rata volume kayu Akasia rotasi pertama pada unit pengelolaan disajikan pada tabel berikut :
Tabel 1. Rata-rata volume kayu Akasia (Acacia mangium) pada rotasi pertama (umur
1-8 tahun)
Variabel Umur (Tahun)
1 2 3 4 5 6 7 8
Volume Total (m3/ha) 6,7 22,3 79,0 133,7 176,1 210,7 240,0 265,4
Sumber : Soemitro, 2004

Tabel 1. diasumsikan sebagai potensi tegakan akasia (Acacia mangium) selama satu rotasi (8 tahun) pada unit pengelolaan. Data ini sebenarnya merupakan tabel hasil untuk hutan tanaman akasia yang diperoleh pengujian/penelitian dengan memantau volume, tinggi dan diameter pohon setiap tahun selama 10 tahun pada petak ukur permanen pada PT Musi Hutan Persada (Soemitro, 2004).
Jika jarak tanam pohon akasia yang digunakan adalah 3 m x 3 m maka satu hektar hutan membutuhkan:
= 10.000 m3/(3 x 3) m3
= 10.000 /9
= 1111 pohon
Potensi tegakan Akasia (Acacia mangium) selama satu rotasi (8 tahun) adalah 265,4 m3/ha sehingga potensi setiap pohon adalah:
= 265,4 m3/1111 pohon
= 0,2389 m3/pohon
Diasumsikan bahwa proses pembuatan kertas yang digunakan adalah pembuatan kertas dari pulp dengan proses kimia menggunakan sodium sulfat (kraft process). Pembuatan pulp dengan kraft process menghasilkan pulp yang dapat diolah menjadi kertas sekitar 45% dari bahan baku kayu. Kelebihan dari kraft pulping adalah bahan kimia yang digunakan dapat didaur ulang (recycle) dan digunakan kembali dalam proses berikutnya. Kelebihan lainnya adalah dihasilkannya serat yang kuat (Jerman : "kraft" berarti kuat). Majalah, kertas grafis dan percetakan, kantong belanja dan pembungkus (packaging) terbuat dari kraft pulp. Kraft pulp biasanya berwarna gelap dan umumnya diputihkan dengan senyawa klorin.




Analisi data:
a. Rendamen (banyaknya pulp yang dapat diolah menjadi kertas/jumlah kertas yang dihasilkan = 45 %
b. Ouput (pulp) = 259,23 ton
Rendamen = Output (pulp/kertas) x 100 %
Input (bahan baku kayu)
45 % = 259,23 ton x 100 %
Input (bahan baku kayu )
0,45 xInput = 259,23 ton

Input = 259,23
0,45
= 576,067 ton

Jadi, bahan baku kayu yang dibutuhkan untuk membuat 259,23 ton pulp/kertas adalah 576,067 ton
Diasumsikan bahwa kayu akasia mempunyai berat jenis 0,65 (Sanchez, 2006) atau kerapatannya 0,65 g/cm3 atau 0,65 ton/m3
Kerapatan = Berat / Volume
0,65 = 576,067 ton / Volume
Volume = 576,067 ton / 0,65
= 886,257 m3


Jadi, volume kayu yang dibutuhkan untuk membuat 259,23 ton pulp/kertas (skripsi UNHAS) adalah 886,257 m3/tahun. Maka luas hutan yang ditebang untuk membuat 259,23 ton pulp/kertas (skripsi UNHAS) adalah:
= 886,257 m3/tahun
265,4 m3/ha

= 3,339 ha/tahun

atau jika dikonversi ke jumlah pohon:

= 886,257 m3/tahun atau = 3,339 ha/tahun x 1111 pohon
0,2389 m3/pohon

= 3710 pohon = 3710 pohon


Dengan menerapkan skripsi timbal balik maka kita menghemat setengah penggunaan kertas berarti kita cuma menebang hutan sebesar:
= 3,339 ha/tahun x 0,5
=1,6695 ha/tahun
Berarti kita mengemat:
= 3,339 ha/tahun - 1,6695 ha/tahun

= 1,6695 ha/tahun
atau mempertahakan pohon sebanyak:
= 3710 pohon/tahun x 0,5
= 1855 pohon/tahun


Tabel 3. Manfaat penyusunan skripsi timbal balik di UNHAS terhadap penggunaan kertas, jumlah pohon yang ditebang dan luas hutan yang dikonversi setiap tahun.
Variabel Skripsi biasa Skripsi Timbal Balik* Penghematan Kertas
Penggunaan Kertas (rim) 7406 3703 3703
Penggunaan Kertas (Lembar) 3703228 1851614 1851614
Penggunaan Kertas (Gram) 259225954 129612977 129612977
Penggunaan Kertas (Ton) 259,23 129,61 129,61
Jumlah Bahan Baku Kayu (ton) 576,067 288,0335 288,0335
Jumlah Kubik Kayu m3 886,257 443,1285 443,1285
Jumlah Pohon (pohon) 3710 1855 1855
Luas Hutan (ha) 3,339 1,6695 1,6695
Sumber: Data Primer Setelah Diolah, 2008).
Keterangan: * Penggunaan kertas timbal balik dianggap akan menghemat setengah penggunaan kertas

Tabel 3. menunjukkan manfaat penyusunan skripsi timbal balik terhadap penggunaan kertas, jumlah pohon yang ditebang dan luas hutan yang dikonversi setiap tahun. Berarti dengan menerapkan penyusunan skripsi timbal balik di UNHAS kita telah berpartisipasi dalam usaha penyelamatkan hutan sebesar 1,6695 ha/tahun atau telah ikut berpartispasi dalam mempertahankan 1855 pohon/tahun. Bagaimana kalau kebijakan tersebut di terapkan di Universitas seluruh Indonesia? Pasti luas hutan yang dapat diselamatkan akan lebih luas lagi. Ini pun baru skripsi timbal balik. Jadi, usaha ini walaupun kelihatan kecil namun sangat berarti bagi usaha penyelamatan hutan. Akhir kata maka penulis mengajak kita semua untuk merenungkan kata bijak berikut ini:


Sukses itu dimulai dari tiga hal:
1. Mulai dari diri sendiri
2. Mulai dari hal-hal kecil
3. Mulai dari sekarang

‘‘Semoga Usaha Yang Kecil Bisa Menjadi Inovator dan Motivator Bagi’
Usaha Penyelamatan Hutan’’


































DAFTAR PUSTAKA


Brown, D.W. 1999. Addicted to Rent : Corporate and Spatial Distribution of Forest Recources in Indonesia, Implication s for Forest Suistinability and
Government Policy. UK Tropical Forest Managemant Programme, Jakarta
Indonesia.
FWI dan GFW. 2001. Potret Keadaan Hutan Indonesia, Bogor, Indonesia: Forest Watch Indonesia dan Washington D.C. : Global Forest Watch.

Sanchez, L. R. 2006. Acacia mangium. www.fincaleola.com/acacia.html [17 Desember 2007].

Scotland, N. 2000. Indonesia Country paper on Illegal Logging. Makalah LokakaryaWorld Bank_WWF mengenai Country of Illegal logging in East Asia, Jakarta.

Soemitro, A. 2003. Prospek Investasi dan Analisis Finansial Ekonomi Hutan Tanaman. PT Musi Hutan Persada, Sumatera Selatan.

Jumat, 17 April 2009

Ketahanan Terhadap Serangan Rayap Tanah (coptotermes sp.) dari Kayu Yang Diawetkan dengan Silafluofen Menggunakan Karbon Dioksida sebagai
Pelarut Pembawa


Termite Resistance of Solid Wood Treated with Termicide Silafluofen Using Carbon Dioxide as a Carrier Solvent Against Coptotermes
Species (Coptotermes sp.)


M. Daud

Abstract

The termite resistance of solid wood treated with termicide silafluofen using supercritical carbon dioxide as a carrier solvent was determined based on the termite resistance of three different comercial tropical wood species (Agathis sp., Palaquium sp., and Heritiera sp.). Treatment was conducted at temperature and pressure supercritical carbon dioxide point (35oC and 80 kg/cm3) with two concentrations termicide silafluofen (20% and 40%) each wood species to obtain five replicates. One treatment untreated wood (concentration 0%) were also tested as control. The specimens of untreated and treated wood is tested to termites in laboratory for three weeks using method of force feeding test. Besides that, untreated and treated wood were also tested using grave yard test for seven months. Results showed that the preservative treatments using supercritical carbon dioxide with concentration 20% have increased termicide resistance of treated wood.

Key words: termite resistance, preservative treatment, carbon dioxide, termites

Minggu, 01 Februari 2009

UPAYA MENINGKATKAN PEMBANGUNAN KEHUTANAN DI INDONESIA

UPAYA MENINGKATKAN PEMBANGUNAN KEHUTANAN DI INDONESIA

THE EFFORTS TO INCREASE FORESTRY DEVELOPMENT IN INDONESIA

Muhammad Daud, S. Hut.
Fakultas Kehutanan
Universitas Hasanuddin

ABSTRACT

Paradigm of forest function only to produce timber have caused deforestation and degradation of Indonesian forest increase significally. It have hampered of development forest function as support of living. We need to change this paradigm by optimizing forest product management through change of paradigm from timber management oriented to forest resources management so that forest management must consider ecological, economic, social, and environment aspects. Main aims forest management are implementation of forest based development and wise utilization of natural recources. Each development activity, from the early planning, must consider environmental characters canges due to new formation of environment conditions, either advantageous.

A. LATAR BELAKANG
Sebagian besar dari hutan tropis hutan terbesar hutan tropis terbesar di dunia terdapat di Indonesia. Berdasarkan luasnya, hutan tropis Indonesia menempati urutan ketiga setelah Brasil dan Republik Demokrasi Kongo. Hutan tersebut memiliki karakteristik yang unik. Tipe-Tipe Hutan di Indonesia berkisar dari Hutan-hutan Dipterocarpaceae dataran rendah yang selalu hijau di Sumatera dan Kalimantan, sampai hutan-hutan monsun musiman dan padang savana di Nusa Tenggara, dan hutan non-Dipterocarpaceae dataran rendah dan kawasan alpin di Irian Jaya (Papua). Saat ini habitat hutan tersebut mengalami ancaman kritis dengan laju deforestasi berkisar 2 juta hektar per tahun.

Selama tiga dekade terakhir, sumberdaya hutan telah menjadi modal utama pembangunan ekonomi nasional, yang memberi dampak positif antara lain terhadap peningkatan devisa, penyerapan tenaga kerja dan mendorong pengembangan wilayah dan pertumbuhan ekonomi. Pada awal pembangunan, negara kita telah menitikberatkan eksploitasi hasil hutan sebagai penghasil devisa utama pada sektor nonmigas. Menurut data FWI dan GFW (2001), pada awal tahun 1997, sektor kehutananan dan pengolahan kayu menyumbang 3,9 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB), dan eksport kayu lapis, pulp, dan kertas nilainya mencapai 5,5 miliar Dollar Amerika. Jumlah ini nilainya hampir setengah dari eksport minyak dan gas, dan setara dengan hampir 10 persen pendapatan ekspor total. Fungsi lain yang taka kalah pentingnya dari hutan adalah fungsi lingkungan, konservasi dan sosial budaya.
Namun demikian pemanfaatan hasil hutan kayu secara berlebihan dan besarnya perubahan kawasan hutan untuk kepentingan non kehutanan menyebabkan timbulnya berbagai permasalahan lingkungan, ekonomi, dan sosial. Sebagai akibatnya laju degradasi hutan antara tahun 1997 - 2003 diperkirakan sebesar 2,83 juta hektar per tahun dengan devisa hanya sebesar US$ 13.24 milyar, atau terjadi penurunan sebesar 16,6 persen (Bappenas, 2003).
Pemerintah telah berupaya menangani permasalahan di bidang kehutanan antara lain dengan menetapkan lima kebijakan prioritas pembangunan kehutanan yaitu:
1. Pemberantasan pencurian kayu di hutan negara dan perdagangan kayu illegal;
2. Revitalisasi sektor kehutanan khususnya industri kehutanan;
3. Rehabilitasi dan konservasi sumber daya hutan;
4. Pemberdayaan ekonomi masyarakat di dalam dan sekitar kawasan hutan;
5. Pemantapan Kawasan Hutan.

B. KONDISI KEHUTANAN SAAT INI
Kondisi hutan dan kehutanan di Indonesia sampai dengan tahun 2004 digambarkan sebagai berikut:
1. EKOLOGI
Sampai dengan tahun 2004, luas hutan Indonesia seluas 120,35 juta ha. Seluas 109,9 juta ha telah ditunjuk oleh Menteri Kehutanan sebagai kawasan hutan. Kawasan hutan tersebut terdiri dari hutan konservasi seluas 23,24 juta ha, hutan lindung seluas 29,1 juta ha, hutan produksi terbatas seluas 16,21 juta ha, hutan produksi seluas 27,74 juta ha, dan hutan produksi yang dapat dikonversi seluas 13,67 juta ha.
Sebagai negara tropis Indonesia merupakan negara dengan kekayaan alam hayati yang tinggi, tercermin dengan keanekaragaman jenis satwa dan flora. Indonesia memiliki mamalia 515 jenis (12 % dari jenis mamalia dunia), 511 jenis reptilia (7,3 % dari jenis reptilia dunia), 1.531 jenis burung (17 % jenis burung dunia), 270 jenis amphibi, 2.827 jenis binatang tak bertulang, dan 38.000 jenis tumbuhan (Bappenas, 2003).
Namun akibat pemanfaatan Sumber Daya Hutan (SDH) yang kurang bijaksana menyebabkan populasi dan distribusi kekayaan tersebut saat ini mengalami penurunan. Penurunan populasi dan distribusi kekayaan tersebut umumnya dibebabkan oleh: pemanfaatan yang berlebihan (flora/fauna), perubahan peruntukan kawasan hutan (legal dan illegal), bencana alam, dan kebakaran hutan. Sampai dengan tahun 2002 tercatat luas kawasan hutan yang terdegradasi seluas 59,7 juta hektar, sedangkan lahan kritis di dalam dan di luar kawasan hutan tercatat seluas 42,1 juta hektar.
Pemerintah telah menetapkan perlindungan terhadap 57 jenis tumbuhan dan 236 jenis satwa yang terancam punah dengan Peraturan Pemerintah No. 7 tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa. Dalam upaya menangani perdagangan tumbuhan dan satwa yang mendekati kepunahan, Indonesia telah menandatangani konvensi CITES dan mendaftarkan sejumlah 1.053 jenis tumbuhan dan sejumlah 1.384 jenis satwa dalam appendix I dan II.



2. SOSIAL
Berdasarkan sensus penduduk BPS tahun 2003, mengindikasikan jumlah penduduk Indonesia mencapai 220 juta orang. CIFOR (2004) menggambarkan bahwa kurang lebih 48,8 juta diantaranya tinggal di sekitar kawasan hutan dan sekitar 10,2 juta orang diantaranya tergolong dalam kategori miskin. Penduduk yang bermata pencaharian langsung dari hutan sekitar 6 juta orang dan sebanyak 3,4 juta orang diantaranya bekerja di sektor swasta kehutanan. Secara tradisi, pada umumnya masyarakat tersebut memiliki mata pencaharian dengan memanfaatkan produk-produk hutan, baik kayu maupun bukan kayu seperti rotan, damar, gaharu, lebah madu).
Keadaan pendidikan dan kesehatan penduduk sekitar hutan pada umumnya tidak sebaik di perkotaan. Akses terhadap fasilitas tersebut di atas dapat dikatakan rendah. Seiring dengan kondisi tersebut, sanitasi perumahan dan lingkungan serta fasilitas umum masih kurang memadai. Dengan meningkatnya jumlah dan kepadatan penduduk di dalam dan sekitar kawasan hutan, kondisi kualitas sosial penduduk di sekitar hutan secara umum menurun.
Upaya untuk meningkatkan kondisi sosial masyarakat di dalam dan sekitar hutan, telah dilakukan pemerintah antara lain melalui: Pembinaan Masyarakat Desa Hutan (PMDH) oleh 169 pemegang HPH (di luar jawa), Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) oleh Perum Perhutani (di Jawa), serta Hutan Kemasyarakatan (HKm). Pada tahun 2003 tercatat pelaksanaan PMDH sebanyak 267 desa (20.542 KK), dan HKm seluas 50.644 ha.
Program Social Forestry dicanangkan Presiden 2 Juli 2003 di Palangkaraya. Program ini dimaksudkan memberi kesempatan kepada masyarakat setempat sebagai pelaku dan atau mitra utama dalam pengelolaan sumberdaya hutan. Sampai saat ini telah dilaksanakan fasilitasi kelembagaan berupa pembentukan kelompok usaha produktif dan penyusunan rencana kegiatan antar sektor pada 7 provinsi.


3. EKONOMI
Pemanfaatan hutan secara komersial terutama di hutan alam, yang dimulai sejak tahun 1967, telah menempatkan kehutanan sebagai penggerak perekonomian nasional. Indonesia telah berhasil merebut pasar ekspor kayu tropis dunia yang diawali dengan ekspor log, kayu kergajian, kayu lapis, dan produk kayu lainnya. Selama 1992 - 1997 tercatat devisa sebesar US$ 16.0 milyar, dengan kontribusi terhadap PDB termasuk industri kehutanan rata-rata sebesar 3,5 % (BPS, 2004).
Pada tahun 2003 ekspor kehutanan secara resmi dilaporkan sejumlah US$ 6,6 milyar atau sekitar 13,7 % dari nilai seluruh ekspor non migas. Ekspor tersebut terdiri dari kayu lapis, kayu gergajian, dan kayu olahan sebesar US$ 2,8 milyar, pulp and paper sebesar US$ 2,4 milyar dan furniture sebesar US$ 1,1 milyar dan sisanya berasal dari kayu olahan lain. Tetapi menurut perkiraan, karena tidak tercatat seluruhnya jumlah tersebut dapat mencapai lebih dari US$ 8,0 milyar, (CIFOR, 2003).
Sungguhpun demikian masa keemasan industri kehutanan mulai tahun 1990 mengalami penurunan. Hal tersebut digambarkan antara lain dengan penurunan jumlah unit pengusahaan hutan (HPH) dari 560 unit (tahun 1990) dengan ijin produksi 27 juta m3, menjadi 270 unit HPH (tahun 2002) dengan ijin produksi 23,8 juta m3.
Penurunan berlanjut pada tahun 2003 dengan ijin produksi 6,8 juta m3 dan tahun 2004 dengan ijin produksi 5,8 juta m3. Sedangkan realisasi total produksi kayu bulat dari berbagai sumber produksi dari tahun 1997-2003. Penerimaan pemerintah dari pungutan Dana Reboisasi (DR), Bunga Jasa Giro DR, Provisi Sumber Daya hutan (PSDH), Iuran Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri , Iuran Hak Pengusahaan Hutan, Ekspor Satwa Liar, Denda Pelanggaran Eksploitasi Hutan dan Pungutan Usaha Pariwisata Alam dan Iuran Usaha Pariwisata Alam pada tahun 1999 mencapai Rp. 3,33 trilyun, sedangkan pada tahun 2003 Rp. 2,72 trilyun.

Jumlah industri pengolahan kayu sampai dengan tahun 2003 tercatat total mencapai 1881 unit dengan rincian: 1.618 unit sawmill dengan kapasitas 11,048 juta m3; 107 unit Plymill dengan kapasitas 9,43 juta m3; 6 unit industri pulpmill dengan kapaitas 3,98 juta m3, 78 industri blockboard dengan kapasitas 2,08 juta m3; dan 73 unit industri pengolahan kayu lainnya dengan kapasitas 3,15 juta m3.
Walaupun demikian penurunan kontribusi industri kehutanan diimbangi dengan peningkatan hasil hutan bukan kayu. Kontribusi hasil hutan bukan kayu (rotan, arang dan damar) tahun 1999 tercatat US$ 8,4 juta dan pada tahun 2002 meningkat menjadi US$ 19,74 Juta. Sedangkan kontribusi perdagangan satwa dan tumbuhan pada tahun 1999 sebesar U S $ 61,3 ribu, meningkat tajam pada tahun 2003 menjadi US$ 3,34 juta.
Pelaksanaan reboisasi pada tahun 1999 tercatat seluas 12.102 ha dan pada tahun 2003 meningkat menjadi 52,200 ha. Kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL) melalui Gerakan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (Gerhan) sampai dengan juni 2004 mencapai 252 ribu ha.
Pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI) juga menunjukkan angka yang menjanjikan walaupun proses pelaksanaannya relatif lambat. Mulai tahun 1989 sampai dengan tahun 2003 tercatat sebanyak 96 unit HTI yang diberi ijin areal seluas 5,4 juta ha. Tetapi sampai dengan Tahun 2004 realisasi penanaman HTI tercatat hanya mencapai 3, 12 juta ha.
Pada tahun 2000, penyerapan tenaga kerja pada sektor kehutanan mulai dari penanaman, pemanfaatan sampai dengan industri tercatat 3.092.470 orang, dengan rata-rata pendapatan pekerja di HPH sebesar Rp. 7,3 juta/tahun/orang, dan untuk di industri Rp. 3.3 juta/tahun/orang (BPS, 2000).
Pembangunan kehutanan sejauh ini memiliki kontribusi yang besar terhadap pembangunan wilayah. Hal ini ditunjukkan dengan terbukanya wilayah-wilayah terpencil melalui ketersedian jalan HPH bagi masyarakat di dalam dan sekitar hutan, bertambahnya kesempatan kerja, peningkatan pendapatan pemerintah daerah dan masyarakat.
C. MASALAH POKOK PEMBANGUNAN KEHUTANAN DI INDONESIA

Masalah pembangunan kehutanan di Indonesia ada dua hal sebagai berikut:
A. Pengelolaan aneka fungsi hutan belum optimal
1. Kawasan hutan belum mantap disebabkan antara lain oleh:
a) Proses penataan ruang belum terkoordinasi dengan baik;
b) Unit Pengelolaan pada semua fungsi kawasan hutan belum seluruhnya terbentuk;
c) Pemanfaatan hutan belum berpihak kepada masyarakat.
2. Sumberdaya hutan menurun disebabkan antara lain oleh:
a) Pemanfaatan sumberdaya hutan masih bertumpu pada hasil hutan kayu;
b) Pengawasan terhadap pengelolaan sumberdaya hutan masih lemah;
c) Penegakan hukum terhadap pelanggaran dalam pengelolaan hutan masih rendah;
d) Laju rehabilitasi hutan dan lahan masih lebih rendah dibandingkan dengan laju kerusakan hutan dan lahan.
B. Peran dan distribusi manfaat belum adil
1. Industri kehutanan tidak efisien disebabkan antara lain oleh:
a) Tidak ada arah yang jelas, dan dukungan serius pemerintah dalam mengembangkan industri kehutanan yang kompetitif;
b) Tidak ada keadilan dalam distribusi manfaat industri kehutanan.
2. Kegiatan perekonomian masyarakat yang terkait dengan sumberdaya hutan belum optimal disebabkan antara lain oleh:
a) Peraturan perundangan yang mengatur akses masyarakat terhadap hutan belum tersedia secara memadai;
b) Belum berkembangnya industri pengolahan hasil hutan skala kecil dan menengah;
c) Belum tersedianya mekanisme pendanaan UKM bidang kehutanan.

D. UPAYA MENINGKATKAN PEMBANGUNAN KEHUTANAN DI INDONESIA
Untuk mencapai sasaran pembangunan jangka menengah sebagaimana di uraikan sebelumnya, Departemen Kehutanan menetapkan 5 (lima) kebijakan prioritas periode 2005-2009 (Keputusan Menteri Kehutanan No. SK.456/Menhut-VII/2004), sebagai berikut:
1) Pemberantasan pencurian kayu (illegal logging) dan perdagangan kayu illegal, dengan kegiatan pokok antara lain :
a) Menyediakan informasi lokasi-lokasi rawan pencurian kayu;
b) Menggalang masyarakat peduli pemberantasan pencurian kayu.
c) Menurunkan ganguan terhadap hutan;
d) Mengintensifkan langkah-langkah koordinasi dengan POLRI-TNI, Kejaksaan Agung dan sektor terkait lain dalam penanganan illegal logging untuk operasi dan penyelesaian tindak pidana kehutanan;
e) Melakukan upaya-upaya operasi-operasi pemberantasan illegal logging dan illegal trade.
2) Revitalisasi sektor kehutanan khususnya industri kehutanan, dengan kegiatan pokok antara lain :
a) Melakukan fasilitasi peningkatan performance industri kehutanan;
b) Mengupayakan pelaksanaan pengelolaan hutan lestari pada 200 unit IUPHHK hutan alam dan IUPHHK Hutan tanaman;
c) Mengupayakan peningkatan produk bukan kayu (non timber forest product);
d) Mengoptimalkan PNBP dan Dana Reboisasi (DR);
e) Menfasilitasi pembangunan HTI seluas minimal 5 juta Ha;
f) Menfasilitasi pembangunan hutan rakyat seluas 2 juta Ha;



3) Rehabilitasi dan konservasi sumberdaya hutan, dengan kegiatan pokok antara lain:
a) Mendorong efektivitas pelaksanaan RHL pada areal seluas 5 juta Ha termasuk rehabilitasi hutan mangrove dan hutan pantai (60 % dalam kawasan hutan, 40 % luar kawasan hutan);
b) Pengelolaan dan pemanfaatan kawasan konservasi di 200 unit KSA/KPA;
c) Membentuk 20 unit model Taman Nasional dan dapat beroperasi;
d) Penanggulangan kebakaran hutan;
e) Mengupayakan berfungsinya 282 DAS prioritas secara optimal, termasuk berfungsinya daerah tangkapan air dalam melindungi obyek vital (al: waduk, pembangkit listrik tenaga air);
f) Mendorong peningkatan pengelolaan jasa lingkungan melalui pengelolaan hutan wisata.
4) Pemberdayaan ekonomi masyarakat di dalam dan sekitar kawasan hutan, dengan kegiatan pokok antara lain :
a) Mendorong pengembangan ekonomi masyarakat di dalam dan sekitar hutan;
b) Peningkatan iklim usaha kecil dan menengah serta akses masyarakat kepada hutan;
c) Memberikan jaminan akan ketersediaan bahan baku untuk UKM kehutanan;
d) Melanjutkan upaya pengembangan pemberdayaan ekonomi masyarakat (community economic empowerment).
5) Pemantapan kawasan hutan, dengan kegiatan pokok antara lain :
a) Menfasilitasi terbentuknya unit pengelolaan hutan KPHP, KPHL dan KPHK;
b) Mengupayakan penyelesaian penunjukan kawasan hutan;
c) Mendorong penyelesaian penetapan kawasan hutan pada 30 % luas kawasan hutan yang telah ditata batas;
d) Melakukan koordinasi, sinkronisasi dengan sektor lain dalam proses penatagunaan kawasan hutan;
e) Mempertahankan keberadaan kawasan hutan yang ada;
f) Menyediakan kelengkapan informasi SDHA, meliputi al: potensi penutupan lahan, kayu komersiil dan non komersiil, potensi non kayu, hidupan liar, jasa lingkungan dan wisata;
g) Menyediakan data/informasi spatial dan non spatial kehutanan.


DAFTAR PUSTAKA
[Bappenas] Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. 2003. Strategi dan Rencana Aksi Keanekaragaman Hayati Indonesia 2003-2020, IBSAP, Dokumen Nasional. Jakarta.
Biro Pusat Statistik. 1993-2004. Statistik Indonesia 1993-2004. Jakarta
Centre for Forestry Research. 2004. Governance brief: Mengapa kawasan hutan penting bagi penanggulangan kemiskinan di Indonesia. [27 Des 2004].
CITES Secretary. 2005. http://www.cites.org [ 22 Mar 2007].
Departemen Kehutanan. 1999. Panduan Kehutanan Indonesia. Koperasi Karyawan Departemen kehutanan dan Perkebunan, Jakarta.
[Dephut] Departemen Kehutanan. 2004. Statistika Kehutanan Indonesia 2003. Jakarta.
[Dephut] Departemen Kehutanan. 2002. Masterplan Rehabilitasi Hutan dan Lahan Nasional. Jakarta.
FWI dan GFW. 2001. Potret Keadaan Hutan Indonesia, Bogor, Indonesia : Forest Watch Indonesia dan Washington D.C. : Global Forest Watch.
Kementerian Lingkungan Hidup. 2004. Status Lingkungan Hidup Indonesia 2003. Jakarta