Jumat, 26 September 2008

SEBUAH KEBOHONGAN: PENGGUNAAN KONDOM MENCEGAH VIRUS HIV/AIDS

SEBUAH KEBOHONGAN: PENGGUNAAN KONDOM MENCEGAH
VIRUS HIV/AIDS

Muhammad Daud, S. Hut.
Fakultas Kehutanan
Universitas Hasanuddin

Berdasarkan hasil sebuah data penelitian dari aktivis kesehatan menunjukkan bahwa hingga Maret 2007 ada 8.988 kasus AIDS di Indonesia. Yang mengejutkan, 57 persen kasus terjadi di usia remaja, yakni 15 tahun hingga 29 tahun. Sebagian besar, yakni 62 persen, terinfeksi narkotika yang menggunakan jarum suntik dan 37 persen dari seks tidak aman.
Terkait dengan data tersebut maka pemerintah telah menggalakkan penggunaan kondom untuk menanggulangi penyakit mematikan tersebut. Rupanya keyakinan pemerintah tersebut masih yakin betul bahwa penularan virus HIV bisa ditangkal dengan penggunaan kondom. Hal ini dibuktikan dengan berbagai kampanye dan argumentasi dikemukakan kepada khalayak agar mau menggunakan kondom sebagai ’senjata pamungkas’ melawan virus ganas itu.
Namun menurut Prof. Dr. Dadang Hawari keyakinan tersebut ternyata tidak beralasan. Beliau pernah menuliskan hasil rangkuman beberapa pernyataan dari sejumlah pakar tentang kondom sebagai pencegah penyebaran HIV/AIDS. Berdasarkan pernyataan yang dikemukakan oleh pakar-pakar tersebut jelas bahwa kelompok yang menyatakan kondom 100 persen aman merupakan pernyataan yang menyesatkan dan kebohongan. Berikut sebagian pernyataan tersebut:
1. Direktur Jenderal WHO Hiroshi Nakajima (1993), “Efektivitas kondom diragukan.”
2. Penelitian Carey (1992) dari Division of Pshysical Sciences, Rockville, Maryland, USA: Virus HIV dapat menembus kondom.
3. Laporan dari Konferensi AIDS Asia Pacific di Chiang Mai, Thailand (1995): Penggunaan kondom aman tidaklah benar. Pada kondom (yang terbuat dari bahan latex) terdapat pori-pori dengan diameter 1/60 mikron dalam keadaan tidak meregang; dalam keadaan meregang lebar pori-pori tersebut mencapai 10 kali. Virus HIV sendiri berdiameter 1/250 mikron. Dengan demikian, virus HIV jelas dengan leluasa dapat menembus pori-pori kondom.
4. V Cline (1995), profesor psikologi dan Universitas Utah, Amerika Serikat, “Jika para remaja percaya bahwa dengan kondom mereka aman dari HIV/AIDS atau penyakit kelamin lainnya, berarti mereka telah tersesatkan.”
5. Hasil penelitian Prof. Dr. Biran Affandi (2000): Tingkat kegagalan kondom dalam KB mencapai 20 persen. Hasil penelitian ini mendukung pernyataan dari Prof. Dr. Haryono Suyono (1994) bahwa kondom dirancang untuk KB dan bukan untuk mencegah virus HIV/AIDS. Dapat diumpamakan, besarnya sperma seperti ukuran jeruk garut, sedangkan kecilnya virus HIV/AIDS seperti ukuran titik. Artinya, kegagalan kondom untuk program KB saja mencapai 20 persen, apalagi untuk program HIV/AIDS; tentu akan lebih besar lagi tingkat kegagalannya.
Jadi, sangat jelas sekali bahwa penggunaan kondom tetap mengundang bahay. Kampanyae kondom selama ini dilakukan hanyalah untuk menghalalkan seks bebas. Akibatnya, kampanye kondom bakal semakin meningkatkan pergaulan seks bebas. Berdasarkan penelitian Mark Schuster dari Rand, sebuah lembaga penelitian nirlaba, dan seorang pediatri di University of California mengungkapkan bahwa setelah kampanye kondomisasi, aktivitas seks bebas di kalangan pelajar pria meningkat dari 37% menjadi 50% dan di kalangan pelajar wanita meningkat dari 27% menjadi 32% (USA Today, 14/4/1998).
Itulah sebabnya, pakar AIDS, R Smith (1995), setelah bertahun-tahun meneliti ancaman AIDS dan penggunaan kondom, mengecam mereka yang telah menyebarkan safe sex dengan cara menggunakan kondom sebagai “sama saja dengan mengundang kematian”. Selanjutnya ia merekomendasikan agar risiko penularan/penyebaran HIV/AIDS diberantas dengan cara menghindari hubungan seksual di luar nikah.
Namun demikian, orang-orang sekular, khususnya para pemuja HAM dan demokrasi di negeri ini masih tetap akan merekomendasikan untuk menebar kondom gratis ketimbang memberantas pergaulan bebas dan pelacuran. Mungkin pikir mereka, itu lebih manusiawi karena tidak melanggar HAM.
Berbagai konferensi tentang HIV/AIDS diselenggarakan di seluruh dunia. Namun, tak satu pun konferensi itu—yang bahkan di antaranya diprakarasai PBB—mengeluarkan rekomendasi untuk mencegah perilaku dan kehidupan seks bebas. Bulan Agustus lalu (19-23 Agustus 2007), misalnya, lebih dari 2500 orang dari 60 negara di kawasan Asia dan Pasifik berkumpul dalam Konferensi Internasional AIDS Asia dan Pasifik (International Conference on AIDS in Asia and the Pacific, atau ICAAP) ke-8 di Colombo, Sri Lanka. Pertemuan selama empat hari ini mendatangkan berbagai pembuat kebijakan, pejabat pemerintah, pakar medis, akademisi, orang dengan HIV/AIDS (ODHA), pekerja komunitas dan media. Mereka membicarakan isu-isu seputar stigma dan diskriminasi, akses layanan bagi ODHA, pentingnya meyakinkan kembali para pimpinan politik untuk menepati janji mereka, serta memperluas layanan kesehatan bagi mereka yang terinfeksi HIV. Mereka juga saling bertukar pengalaman dan tantangan yang dihadapi, termasuk masalah hak asasi manusia, keamanan, gender dan seksualitas, serta keterlibatan ODHA yang lebih besar dalam program HIV/AIDS. Namun, tidak ada satu pun pembicaraan mereka itu mengarah pada akar penyebab penyebaran HIV/AIDS, yakni seks beba. Padahal seks bebaslah penyebab utama merebaknya HIV/AIDS, di samping penyalahgunaan narkoba. Hal ini disebabkan oleh perilaku seks bebas alias zina adalah salah satu perilaku yang dijamin dalam sistem demokrasi, sebagaimana yang diberlakukan di Indonesia saat ini juga.
Di Indonesia, misalnya, salah satu buktinya adalah tidak adanya UU yang bisa menjerat pelaku perzinaan. Yang ada adalah pasal dalam KUHP yang terkait dengan pemerkosaan. Artinya, selama hubungan seks di luar nikah alias zina dilakukan suka sama suka maka hal itu tidak masalah. Wajar saja jika di Tanah Air lokalisasi pelacuran di berbagai tempat kerap dilegalkan, karena di sana transaksi seksual antara pelacur dan lelaki hidung belang memang dilakukan atas dasar suka sama suka.
Karena itu, satu-satunya solusi untuk mencegah penyebaran virus HIV/AIDS adalah dengan membuang demokrasi yang memang memberikan jaminan atas kebebasan berperilaku, termasuk seks bebas, sekaligus memberlakukan hukum Islam secara tegas, antara lain hukuman cambuk atau rajam atas para pelaku seks bebas (perzinaan). Allah SWT berfirman:
Pezina wanita dan pezina laki-laki, cambuklah masing-masing dari keduanya seratus kali cambukan, dan janganlah rasa belas kasihan kepada keduanya mencegah kalian untuk (menjalankan) agama Allah jika kalian memang mengimani Allah, dan Hari Akhir. (QS an-Nur [24]: 2).
Hukuman yang berat juga harus diberlakukan atas para pengguna narkoba. Sebab, di samping barang haram, narkoba terbukti menjadi alat efektif (mencapai 62%) dalam penyebarluasan HIV/AIDS. Lebih dari itu, sudah saatnya Pemerintah dan seluruh komponen bangsa ini segera menerapkan seluruh aturan-aturan Allah (syariah Islam) secara total dalam seluruh aspek kehidupan. Hanya dengan itulah keberkahan dan kebaikan hidup—tanpa AIDS dan berbagai bencana kemanusiaan lainnya—akan dapat direngkuh dan ridha Allah pun dapat diraih.

Tidak ada komentar: