Jumat, 26 September 2008

KOALISI POLITIK VS KOALISI FIGUR

KOALISI POLITIK VS KOALISI FIGUR

Muhammad Daud, S. Hut.
Fakultas Kehutanan
Universitas Hasanuddin


Dalam dunia politik koalisi politik ideal ditandai oleh beberapa indikator. Pertama, pola koalisi dibangun berdasarkan platform partai yang jelas, rasional, objektif, dan kredibel. Para pemimpin partai menggunakan platform sebagai alat komunikasi utama ketika berhadapan dengan konstituen atau kontestan partai lainnya. Sebaliknya koalisi figuratif lebih dilandasi oleh kepentingan subjektif sesaat para tokoh, "politik dagang sapi", barter kue kekuasaan yang semuanya sering mengorbankan konsistensi platform partai dan kepentingan konstituennya.
Kedua, karena dalam koalisi politik masing-masing partai menggunakan platform sebagai alat komunikasi maka kerja sama yang dibangun di antara mereka akan bersifat objektif, memiliki kejelasan pola, transparan dan berorientasi pada aspek kekaryaan (zaken). Sehingga, konstituen akan mudah memahami tawaran politik yang bersifat real, terbuka dan strategis dari setiap kandidat yang akan dipilih. Sebaliknya dalam koalisi figuratif deal-deal politik disembunyikan oleh masing-masing tokoh. Masing-masing tokoh memiliki agenda tersembunyi yang tidak diketahui tokoh lain serta publik konstituen. Bahkan, dalam satu partai yang sama terkadang ada tokoh lain yang melakukan deal politik berbeda dengan tokoh utamanya. Deal-deal politik dalam satu partai pun kadang berlapis dengan masing-masing bertujuan tidak jelas. Lebih parah pola koalisi juga menyebar tanpa struktur. Hasilnya adalah rumor politik yang ekskalasinya makin panas dan meningkat menjelang pemilihan presiden. Hal ini akan memproduksi konjungtur politik nasional yang amat berbahaya, karena proses dan arah politik sulit diprediksi. Kalau keadaan menjadi eksesif, kekacauan akan dituai publik pada akhirnya.
Ketiga, karena pemilu adalah kontrak politik antara partai dan konstituen, maka koalisi politik bertujuan untuk "menyelamatkan" aspirasi konstituen serta platform partai agar terwadahi dalam format kebijakan politik pemerintah di masa mendatang. Koalisi politik mensubordinasi kepentingan tokoh di bawah kepentingan partai. Sebaliknya saat ini yang tampak adalah para tokoh mensubordinasi partai sebagai "kuda tunggang" untuk meraih posisi politik tertentu dengan mengorbankan kepentingan internal partai maupun konstituen. Tak heran beberapa partai pecah, para eksponen yang kritis keluar serta massa menjadi apatis, kecewa, tidak percaya dan sebagian bahkan marah terhadap para elite partai. Keapatisan massa sudah dirasakan dalam Pemilu 2004 yang dirasa kurang "meriah", karena partai-partai gagal memobilisasi pendukungnya.
Keempat, dalam koalisi politik, meski masih ada muatan parokialisme (kepentingan golongan dan partai), perebutan ruang publik (jabatan presiden, gubernur atau bupati, misalkan) tetap berbasis pada pertimbangan objektif-rasional sebagai muara dari transparasi program atau komunikasi yang menyertainya. Sebaliknya dalam koalisi figuratif proses privatisasi dan subjektifikasi politik menjadi dominan. Pola-pola komunikasi yang bersifat tertutup menyeret rivalitas, kerja sama, target, kekalahan-kemenangan politik menjadi wilayah privat. Politik dibangun atas dasar perkoncoan dan clientelisme. Politik bukan lagi wilayah publik, namun menjadi persoalan personal hubungan antartokoh. Hal ini tentu saja tidak menguntungkan rakyat karena peluang terjadi manipulasi amat besar.
Kelima, karena bersifat subjektif maka hubungan antartokoh dalam koalisi figuratif sangat rapuh dan berjangka pendek, tergantung arah angin kepentingan sesaat yang melingkupinya. Kasus Amien Rais dengan Poros Tengah-nya (1999) menjadi bukti kerja sama yang dibangun atas dasar sentimen religi hanya bertahan dua tahun disertai bea constitutional chaos dengan mundurnya Gus Dur sebagai presiden. Kalau situasi koalisi figuratif dilembagakan dan bahkan disuburkan, jangan kaget, ketidakpastian dan kekacauan politik baru akan menyongsong Indonesia satu-dua tahun mendatang.
Jadi tegasnya, semua manufer tokoh yang saling bertemu membangun koalisi (katanya) dan terekam di media sampai saat ini, sesungguhnya belum sampai pada tataran koalisi politik, namun sekadar koalisi figuratif. Para tokoh mencoba "merangkai kemungkinan" menduduki jabatan presiden, tanpa disertai upaya transparansi tentang hal-hal imperatif yang dapat "dikoalisikan" antarmereka. Judul pertemuan mereka menjadi amat klasik dan penuh eufisme: "silaturahmi". Sayangnya, semua basa-basi politik ini akan amat berbahaya dan menjadi tidak produktif karena bangsa Indonesia sesungguhnya lebih memerlukan koalisi kultural dari sekadar koalisi politik, apalagi koalisi figuratif yang baru marak kini.

Tidak ada komentar: