Sabtu, 11 Oktober 2008

PARADIGMA BARU MENGENAI PEMBANGUNAN HTI DI INDONESIA

PARADIGMA BARU MENGENAI PENGEMBANGAN

HUTAN TANAMAN INDUSTRI DI INDONESIA

Muh. Daud, S. Hut.

Maraknya penebangan liar dan penjarahan hutan-hutan alam telah menyebabkan industri kehutanan terutama kayu lapis (plywood) kini terancam kekurangan bahan baku kayu bulat. Jika penyediaan bahan baku tetap mengandalkan hutan alam seperti saat ini, maka industri kehutanan yang menghasilkan devisa 8 milyar dollar AS per tahun itu tinggal tunggu waktu. Untuk menanggulngi masalah tersebut maka pemerintah telah mengembangkan hutan tanaman industri (HTI). Pengembangan HTI ini akan bermanfaat karena dari sisi ekologi, kelestarian hutan akan terjaga karena akan mengurangi ketergantungan terhadap hutan alam. Selain itu, dari sisi ekonomi, dapat mempertahankan industri kehutanan yang kini menyerap tenaga kerja sekitar 2,5 juta orang dengan nilai investasi hampir Rp 28 triliun. Selain itu, produk dari HTI ini akan menurunkan ketergantungan terhadap hutan alam.

HTI pada hakikatnya bukan hanya menanami kayu di hutan produksi, tetapi juga di hutan-hutan milik masyarakat. Hutan rakyat semacam ini perlu dikembangkan dalam rangka mendorong hutan tanaman industri. Dengan adanya peluang pasar bagi hasil Hutan Rakyat untuk menunjang kebutuhan bahan baku industri pengolahan kayu, maka usaha pengembngan hutan rakyat merupakan peluang usaha dan dapat membuka lapangan kerja bagi masyarakat yang pada akhirnya dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat

Namun demikian, perlu adanya keseriusan pemerintah dalam pengembangan HTI sebab pembangunan hutan tanaman yang telah dikembangkan pemerintah sejak tahun 1985 tidak mencapai sasaran. Rencana semula pemerintah yakin akan bisa membangun HTI satu juta hektar per tahun sejak 15 tahun lalu atau 6,25 juta hektar per Pelita. Namun, kenyataan yang terbangun saat ini hanya sekitar 2,5 juta hektar. Ini pun lebih banyak didominasi Acacia mangium yang nilai ekonomisnya sangat rendah, juga harga jualnya yang tidak seberapa. HTI tersebut dibuat dengan perencanaan yang tidak jelas dan matang. sehingga hasilnya pun bernilai ekonomis rendah. Selain itu, tanaman yang dikembangkan rentan terhadap penyakit dan kebakaran, serta menyebabkan merosotnya kualitas ekosistem lingkungan. Sehingga muncul sebuah fenomena bahwa hasil pembangunan HTI selama ini merupakan indikator kegagalan rimbawan mengelola hutan, sebuah upaya besar kehutanan yang ternyata kontroversial.

Oleh karena itu, pola dan sistem pembangunan HTI perlu diubah dan disesuaikan dengan kondisi yang ada serta sistem ini harus didukung oleh perencanaan strategis menyangkut pemilihan jenis tanaman dan kondisis areal penanaman serta keterkaitannya dengan pengembangan industri pengolahan kayu yang telah ada. Serta pengetahuannya harus berdasarakan teknik silvikultur dengan pertimbangan aspek teknologi kayu sehingga HTI mampu menghasilkan kayu berkualitas dengan riap volume yang tinggi dengan keuntungan ekonomi yang optimal dengan tetap mempertimbangkan kondisi lingkungan, ekonomi, serta kondisi sosial masyarakat sekitar hutan.

Pembangunan HTI saat ini harus mulai berpikir untuk segera mencoba mengembangkan HTI dengan jenis tanaman lain di luar Acacia mangium. Serta mempelajari kearifan lokal masyarakat tentang cara masyarakat tradisional membuat hutan rakyat dengan baik.

Dalam kaitan dengan otonomi daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, di mana pemerintah daerah punya kewenangan mutlak untuk mengelolah hutan, maka diharapkan bahwa pengelolaan hutan harus diarahkan ke pengembangan hutan tanaman dan hutan rakyat. Pemanfaatan kayu dari hutan alam harus dikurangi. Hutan harus dianggap sebagai aset penting pembangunan daerah. Gubernur, bupati, wali kota harus memiliki peran pengawasan dan pengendalian dalam operasionalnya di lapangan. Selain itu, pemda setempat juga harus memperoleh keuntungan yang memadai dari hasil kehutanan tersebut. Yang lebih penting lagi masyarakat setempat, wajib dibina serta dilibatkan dalam pengelolaan hutan.

Namun yang menjadi masalah adalah bagaimana menerapakan konsep ini di pemerintah kita? Apakah perlu dibuatkan landasan hukum ataukah pembangunan kehutanan harus berdasarkan kesadaran kita sendiri? Dan bagaimana mengsinergikan ketergantungan ekonomi masyarakat dengan kelestarian hutan? Bisakah pengembangan hutan tanaman industri ini sebagai solusi bagi keberlanjutan indutsri kayu Indonesia.

Tidak ada komentar: