Sabtu, 11 Oktober 2008

THE EFFORTS TO IMPROVE FORESTRY DEVELOPMENT IN INDONESIA

UPAYA MENINGKATKAN PEMBANGUNAN KEHUTANAN DI INDONESIA

Muhammad Daud, S. Hut.

Abstract

Paradigm of forest function only to produce timber have caused deforestation and degradation of Indonesian forest increase significally. It have hampered of development forest function as support of living. We need to change this paradigm by optimizing forest product management through change of paradigm from timber management oriented to forest resources management so that forest management must consider ecological, economic, social, and environment aspects. Main aims forest management are implementation of forest based development and wise utilization of natural recources. Each development activity, from the early planning, must consider environmental characters canges due to new formation of environment conditions, either advantageous.

Key Word: Paradigm, Forest, Forestry

A. LATAR BELAKANG

Hutan Indonesia seluas 120,35 juta hektar merupakan kelompok hutan tropis ketiga terbesar di dunia setelah Brasil dan Zaire, mempunyai fungsi utama sebagai paru-paru dunia serta penyeimbang iklim global. Dalam tataran global, keanekaragaman hayati Indonesia menduduki posisi kedua di dunia setelah Columbia sehingga keberadaannya perlu dipertahankan.
Selama tiga dekade terakhir, sumberdaya hutan telah menjadi modal utama pembangunan ekonomi nasional, yang memberi dampak positif antara lain terhadap peningkatan devisa, penyerapan tenaga kerja dan mendorong pengembangan wilayah dan pertumbuhan ekonomi. BPS (2000) menunjukkan devisa sektor kehutanan pada pelita VI /1992 - 1997 tercatat sebesar US$ 16.0 milyar, atau sekitar 3,5% dari PDB nasional/
Namun demikian pemanfaatan hasil hutan kayu secara berlebihan dan besarnya perubahan kawasan hutan untuk kepentingan non kehutanan menyebabkan timbulnya berbagai permasalahan lingkungan, ekonomi, dan sosial. Sebagai akibatnya laju degradasi hutan antara tahun 1997 - 2003 diperkirakan sebesar 2,83 juta hektar per tahun dengan devisa hanya sebesar US$ 13.24 milyar, atau terjadi penurunan sebesar 16,6 persen (Bappenas, 2003). Pemerintah telah berupaya menangani permasalahan di bidang kehutanan antara lain dengan menetapkan lima kebijakan prioritas pembangunan kehutanan yaitu:
1. Pemberantasan pencurian kayu di hutan negara dan perdagangan kayu illegal;
2. Revitalisasi sektor kehutanan khususnya industri kehutanan;
3. Rehabilitasi dan konservasi sumber daya hutan;
4. Pemberdayaan ekonomi masyarakat di dalam dan sekitar kawasan hutan;
5. Pemantapan Kawasan Hutan.

B. KONDISI SAAT INI

Kondisi hutan dan kehutanan di Indonesia sampai dengan tahun 2004 digambarkan sebagai berikut:

1. EKOLOGI

Sampai dengan tahun 2004, dari kawasan hutan Indonesia seluas 120,35 juta ha telah ditunjuk oleh Menteri Kehutanan seluas 109,9 juta ha. Kawasan hutan tersebut terdiri dari hutan konservasi seluas 23,24 juta ha, hutan lindung seluas 29,1 juta ha, hutan produksi terbatas seluas 16,21 juta ha, hutan produksi seluas 27,74 juta ha, dan hutan produksi yang dapat dikonversi seluas 13,67 juta ha.
Berdasarkan hasil-hasil penelitian, hutan dan perairan Indonesia memiliki kekayaan alam hayati yang tinggi, tercermin dengan keanekaragaman jenis satwa dan flora. Sejauh ini kekayaan tersebut diindikasikan dengan jumlah mamalia 515 jenis (12 % dari jenis mamalia dunia), 511 jenis reptilia (7,3 % dari jenis reptilia dunia), 1.531 jenis burung (17 % jenis burung dunia), 270 jenis amphibi, 2.827 jenis binatang tak bertulang, dan 38.000 jenis tumbuhan (Bappenas, 2003). Populasi dan distribusi kekayaan tersebut saat ini mengalami penurunan sebagai akibat pemanfaatan Sumber Daya Hutan (SDH) yang kurang bijaksana antara lain: pemanfaatan yang berlebihan (flora/fauna), perubahan peruntukan kawasan hutan (legal dan illegal), bencana alam, dan kebakaran hutan. Kebakaran hutan yang terjadi pada tahun 1997/1998 tercatat seluas 5,2 juta ha.
Sampai dengan tahun 2002 tercatat luas kawasan hutan yang terdegradasi seluas 59,7 juta hektar, sedangkan lahan kritis di dalam dan di luar kawasan hutan tercatat seluas 42,1 juta hektar. Sebagian dari lahan tersebut berada pada Daerah Aliran Sungai (DAS) yang diprioritaskan untuk direhabilitasi. Sampai dengan tahun 2004, pemerintah telah memprioritas-kan 458 DAS, diantaranya 282 merupakan prioritas I dan II.
Pemerintah telah menetapkan perlindungan terhadap 57 jenis tumbuhan dan 236 jenis satwa yang terancam punah dengan Peraturan Pemerintah No. 7 tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa. Dalam upaya menangani perdagangan tumbuhan dan satwa yang mendekati kepunahan, Indonesia telah menandatangani konvensi CITES dan mendaftarkan sejumlah 1.053 jenis tumbuhan dan sejumlah 1.384 jenis satwa dalam appendix I dan II.
Dalam rangka mempertahankan ekosistem dan keanekaragaman hayatinya, sampai dengan tahun 2004 Pemerintah telah menetapkan kawasan konservasi daratan yaitu: 44 unit Taman Nasional (TN), 104 unit Taman Wisata Alam (TWA), 17 unit Taman Hutan Raya (TAHURA), 14 unit Taman Buru (TB), 214 unit Cagar Alam (CA), dan 63 unit Suaka Margasatwa (SM). Sedangkan wilayah konservasi laut telah ditetapkan: 6 unit TN, 9 unit CA, 6 unit SM, 18 unit TWA. Pada tataran global, selain aktif di CITES, Indonesia meratifikasi dan terlibat aktif dalam UNCCC, Kyoto Protocol, UNCBD, UNCCD, Konvensi RAMSAR dan World Heritage. Selain itu Indonesia juga berperan aktif dalam committee on forest (COFO)/FAO, ITTO dan UNFF serta kesepakatan-kesepakatan lain yang bersifat global dan regional.

2. SOSIAL

Berdasarkan sensus penduduk BPS tahun 2003, mengindikasikan jumlah penduduk Indonesia mencapai 220 juta orang. CIFOR (2004) dan BPS (2000) menggambarkan bahwa kurang lebih 48,8 juta diantaranya tinggal di sekitar kawasan hutan dan sekitar 10,2 juta orang diantaranya tergolong dalam kategori miskin. Penduduk yang bermata pencaharian langsung dari hutan sekitar 6 juta orang dan sebanyak 3,4 juta orang diantaranya bekerja di sektor swasta kehutanan. Secara tradisi, pada umumnya masyarakat tersebut memiliki mata pencaharian dengan memanfaatkan produk-produk hutan, baik kayu maupun bukan kayu (al. rotan, damar, gaharu, lebah madu).
Keadaan pendidikan dan kesehatan penduduk sekitar hutan pada umumnya tidak sebaik di perkotaan. Akses terhadap fasilitas tersebut di atas dapat dikatakan rendah. Seiring dengan kondisi tersebut, sanitasi perumahan dan lingkungan serta fasilitas umum masih kurang memadai. Dengan meningkatnya jumlah dan kepadatan penduduk di dalam dan sekitar kawasan hutan, kondisi kualitas sosial penduduk di sekitar hutan secara umum menurun.
Upaya untuk meningkatkan kondisi sosial masyarakat di dalam dan sekitar hutan, telah dilakukan pemerintah antara lain melalui: Pembinaan Masyarakat Desa Hutan (PMDH) oleh 169 pemegang HPH (di luar jawa), Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) oleh Perum Perhutani (di Jawa), serta Hutan Kemasyarakatan (HKm). Pada tahun 2003 tercatat pelaksanaan PMDH sebanyak 267 desa (20.542 KK), dan HKm seluas 50.644 ha.
Program Social Forestry dicanangkan Presiden 2 Juli 2003 di Palangkaraya. Program ini dimaksudkan memberi kesempatan kepada masyarakat setempat sebagai pelaku dan atau mitra utama dalam pengelolaan sumberdaya hutan. Sampai saat ini telah dilaksanakan fasilitasi kelembagaan berupa pembentukan kelompok usaha produktif dan penyusunan rencana kegiatan antar sektor pada 7 provinsi.

3. EKONOMI

Pemanfaatan hutan secara komersial terutama di hutan alam, yang dimulai sejak tahun 1967, telah menempatkan kehutanan sebagai penggerak perekonomian nasional. Indonesia telah berhasil merebut pasar ekspor kayu tropis dunia yang diawali dengan ekspor log, kayu kergajian, kayu lapis, dan produk kayu lainnya. Selama 1992 - 1997 tercatat devisa sebesar US$ 16.0 milyar, dengan kontribusi terhadap PDB termasuk industri kehutanan rata-rata sebesar 3,5 % (BPS, 2004).
Pada tahun 2003 ekspor kehutanan secara resmi dilaporkan sejumlah US$ 6,6 milyar atau sekitar 13,7 % dari nilai seluruh ekspor non migas. Ekspor tersebut terdiri dari kayu lapis, kayu gergajian, dan kayu olahan sebesar US$ 2,8 milyar, pulp and paper sebesar US$ 2,4 milyar dan furniture sebesar US$ 1,1 milyar dan sisanya berasal dari kayu olahan lain. Tetapi menurut perkiraan, karena tidak tercatat seluruhnya jumlah tersebut dapat mencapai lebih dari US$ 8,0 milyar, (CIFOR, 2003).
Sungguhpun demikian masa keemasan industri kehutanan mulai tahun 1990 mengalami penurunan. Hal tersebut digambarkan antara lain dengan penurunan jumlah unit pengusahaan hutan (HPH) dari 560 unit (tahun 1990) dengan ijin produksi 27 juta m3, menjadi 270 unit HPH (tahun 2002) dengan ijin produksi 23,8 juta m3.
Penurunan berlanjut pada tahun 2003 dengan ijin produksi 6,8 juta m3 dan tahun 2004 dengan ijin produksi 5,8 juta m3. Sedangkan realisasi total produksi kayu bulat dari berbagai sumber produksi dari tahun 1997-2003. Penerimaan pemerintah dari pungutan Dana Reboisasi (DR), Bunga Jasa Giro DR, Provisi Sumber Daya hutan (PSDH), Iuran Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri , Iuran Hak Pengusahaan Hutan, Ekspor Satwa Liar, Denda Pelanggaran Eksploitasi Hutan dan Pungutan Usaha Pariwisata Alam dan Iuran Usaha Pariwisata Alam pada tahun 1999 mencapai Rp. 3,33 trilyun, sedangkan pada tahun 2003 Rp. 2,72 trilyun.
Pemanfataan hutan dari tahun 1989 sampai dengan 2003 menunjukkan penurunan baik luasan areal dan jumlah unit pengusahaannya. Jumlah unit pengusahaan hutan pada tahun 2003 tercatat 267 unit atau menurun sebesar 52,1 % dibandingkan pada tahun 1989. Jumlah industri pengolahan kayu sampai dengan tahun 2003 tercatat total mencapai 1881 unit dengan rincian: 1.618 unit sawmill dengan kapasitas 11,048 juta m3; 107 unit Plymill dengan kapasitas 9,43 juta m3; 6 unit industri pulpmill dengan kapaitas 3,98 juta m3, 78 industri blockboard dengan kapasitas 2,08 juta m3; dan 73 unit industri pengolahan kayu lainnya dengan kapasitas 3,15 juta m3.
Walaupun demikian penurunan kontribusi industri kehutanan diimbangi dengan peningkatan hasil hutan bukan kayu. Kontribusi hasil hutan bukan kayu (rotan, arang dan damar) tahun 1999 tercatat US$ 8,4 juta dan pada tahun 2002 meningkat menjadi US$ 19,74 Juta. Sedangkan kontribusi perdagangan satwa dan tumbuhan pada tahun 1999 sebesar U S $ 61,3 ribu, meningkat tajam pada tahun 2003 menjadi US$ 3,34 juta. Pelaksanaan reboisasi pada tahun 1999 tercatat seluas 12.102 ha dan pada tahun 2003 meningkat menjadi 52,200 ha. Kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL) melalui Gerakan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (Gerhan) sampai dengan juni 2004 mencapai 252 ribu ha.
Pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI) juga menunjukkan angka yang menjanjikan walaupun proses pelaksanaannya relatif lambat. Mulai tahun 1989 sampai dengan tahun 2003 tercatat sebanyak 96 unit HTI yang diberi ijin areal seluas 5,4 juta ha. Tetapi sampai dengan Tahun 2004 realisasi penanaman HTI tercatat hanya mencapai 3, 12 juta ha.
Pada tahun 2000, penyerapan tenaga kerja pada sektor kehutanan mulai dari penanaman, pemanfaatan sampai dengan industri tercatat 3.092.470 orang, dengan rata-rata pendapatan pekerja di HPH sebesar Rp. 7,3 juta/tahun/orang, dan untuk di industri Rp. 3.3 juta/tahun/orang (BPS, 2000). Pembangunan kehutanan sejauh ini memiliki kontribusi yang besar terhadap pembangunan wilayah. Hal ini ditunjukkan dengan terbukanya wilayah-wilayah terpencil melalui ketersedian jalan HPH bagi masyarakat di dalam dan sekitar hutan, bertambahnya kesempatan kerja, peningkatan pendapatan pemerintah daerah dan masyarakat.
4. KELEMBAGAAN

Sesuai dengan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 123/Kpts-II/2001, Organisasi Departemen Kehutanan terdiri dari Sekretariat Jenderal, Inspektorat Jenderal, Direktorat Jenderal (Ditjen) Bina Produksi Kehutanan, Ditjen Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial, Ditjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, Badan Planologi Kehutanan dan Badan Litbang Kehutanan serta didukung oleh 5 Staf Ahli.
Sesuai dengan Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Penyelenggaraan Kehutanan di daerah terdiri dari :
a) Desentralisasi/pelimpahan wewenang dan tanggung jawab berada di Provinsi dan Kabupaten/Kota;
b) Dekonsentrasi yang dikelola oleh Unit Pelaksana Teknis (UPT) Departemen Kehutanan;
c) Perbantuan, tugas-tugas pusat dilaksanakan oleh daerah.
Dalam melaksanakan dekonsentrasi, Departemen Kehutanan memiliki UPT yang terdiri dari Balai Pengelolaan DAS (31 unit); Balai Pemantapan Kawasan Hutan (11 unit); Balai Konservasi Sumberdaya Alam (32 unit), Balai Taman Nasional (33 unit), Balai Sertifikasi Penguji Hasil Hutan (17 unit), Balai Litbang Teknologi DAS (2 unit), Balai Litbang Hutan Tanaman (2 unit), Balai Litbang Kehutanan (8 unit), Balai Persuteraan Alam (1 unit), Balai Teknologi Perbenihan (1 unit), Balai Diklat Kehutanan (7 unit), Balai Perbenihan dan Tanaman Hutan (6 unit).

Untuk mencapai sinkronisasi-koordinasi perencanaan dan pelaksanaan pembangunan kehutanan di pusat dan daerah melalui Keputusan Menteri Kehutanan No. SK. 103/Menhut-II/2004, Departemen kehutanan membentuk Pusat Pengendalian Pembangunan Kehutanan Regional di 4 Regional, masing-masing: Regional I wilayah Sumatra; Regional II wilayah Jawa, Bali, Nusa Tenggara; Regional III wilayah Kalimantan, Regional IV wilayah Sulawesi, Maluku dan Papua.
Sampai dengan Mei 2004 jumlah pegawai Departemen Kehutanan tercatat sebesar 14.875 orang terdiri dari 3.392 orang pegawai pusat dan 11.483 orang pegawai UPT. Berdasarkan tingkat pendidikan hampir 70% pegawai tersebut berpendidikan Sekolah Dasar (SD) sampai dengan Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) (Gambar 13) dan 43% diantaranya berusia antara 37-46 tahun (Gambar 14).
Berdasarkan golongan kepangkatan pegawai sebesar 54% berstatus golongan I dan II (Gambar 15), sedangkan secara gender jumlah pegawai wanita lebih sedikit dibanding laki-laki baik di pusat maupun di daerah. Sampai dengan akhir tahun 2004 pembangunan, kebijakan dan langkah kegiatan di sektor kehutanan dipayungi oleh peraturan perundang-undangan antara lain:
a) UU No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya;
b) UU No. 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang;
c) UU Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan (yang merupakan penyempurnaan UU No. 5 tahun 1967);
d) UU No. 25 tahun 2004 tentang Sistem perencanaan Pembangunan Nasional;
e) UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (yang merupakan penyempurnaan UU. No. 22 tahun 1999);
f) UU No. 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (yang merupakan penyempurnaan UU. No. 25 tahun 1999);
g) Peraturan Pemerintah (PP) sebagai penjabaran dari UU. No. 41 tahun 1999, antara lain: PP. No. 34 tahun 2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan; PP. No. 35 tahun 2002 tentang Dana Reboisasi; PP. No. 44 tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutanan; PP. No. 45 tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan.
Untuk mendukung kelembagaan yang tumbuh di masyarakat, dan pengembangan SDM serta penelitian pemerintah mengalokasikan kawasan hutan dengan tujuan khusus (KDTK), Sampai saat ini telah ditunjuk sebanyak 22 KDTK yang seluruhnya didedikasikan untuk kegiatan penelitian.

C. MASALAH POKOK PEMBANGUNAN KEHUTANAN DI INDONESIA

Masalah pembangunan kehutanan di Indonesia ada dua hal sebagai berikut:
A. Pengelolaan aneka fungsi hutan belum optimal
1. Kawasan hutan belum mantap disebabkan antara lain oleh:
a) Proses penataan ruang belum terkoordinasi dengan baik;
b) Unit Pengelolaan pada semua fungsi kawasan hutan belum seluruhnya terbentuk;
c) Pemanfaatan hutan belum berpihak kepada masyarakat.
2. Sumberdaya hutan menurun disebabkan antara lain oleh:
a) Pemanfaatan sumberdaya hutan masih bertumpu pada hasil hutan kayu;
b) Pengawasan terhadap pengelolaan sumberdaya hutan masih lemah;
c) Penegakan hukum terhadap pelanggaran dalam pengelolaan hutan masih rendah;
d) Laju rehabilitasi hutan dan lahan masih lebih rendah dibandingkan dengan laju kerusakan hutan dan lahan.
B. Peran dan distribusi manfaat belum adil
1. Industri kehutanan tidak efisien disebabkan antara lain oleh:
a) Tidak ada arah yang jelas, dan dukungan serius pemerintah dalam mengembangkan industri kehutanan yang kompetitif;
b) Tidak ada keadilan dalam distribusi manfaat industri kehutanan.
2. Kegiatan perekonomian masyarakat yang terkait dengan sumberdaya hutan belum optimal disebabkan antara lain oleh:
a) Peraturan perundangan yang mengatur akses masyarakat terhadap hutan belum tersedia secara memadai;
b) Belum berkembangnya industri pengolahan hasil hutan skala kecil dan menengah;
c) Belum tersedianya mekanisme pendanaan UKM bidang kehutanan.

D. UPAYA MENINGKATKAN PEMBANGUNAN KEHUTANAN DI INDONESIA
Untuk mencapai sasaran pembangunan jangka menengah sebagaimana di uraikan sebelumnya, Departemen Kehutanan menetapkan 5 (lima) kebijakan prioritas periode 2005-2009 (Keputusan Menteri Kehutanan No. SK.456/Menhut-VII/2004), sebagai berikut:
1) Pemberantasan pencurian kayu (illegal logging) dan perdagangan kayu illegal, dengan kegiatan pokok antara lain :
a) Menyediakan informasi lokasi-lokasi rawan pencurian kayu;
b) Menggalang masyarakat peduli pemberantasan pencurian kayu.
c) Menurunkan ganguan terhadap hutan;
d) Mengintensifkan langkah-langkah koordinasi dengan POLRI-TNI, Kejaksaan Agung dan sektor terkait lain dalam penanganan illegal logging untuk operasi dan penyelesaian tindak pidana kehutanan;
e) Melakukan upaya-upaya operasi-operasi pemberantasan illegal logging dan illegal trade.
2) Revitalisasi sektor kehutanan khususnya industri kehutanan, dengan kegiatan pokok antara lain :
a) Melakukan fasilitasi peningkatan performance industri kehutanan;
b) Mengupayakan pelaksanaan pengelolaan hutan lestari pada 200 unit IUPHHK hutan alam dan IUPHHK Hutan tanaman;
c) Mengupayakan peningkatan produk bukan kayu (non timber forest product);
d) Mengoptimalkan PNBP dan Dana Reboisasi (DR);
e) Menfasilitasi pembangunan HTI seluas minimal 5 juta Ha;
f) Menfasilitasi pembangunan hutan rakyat seluas 2 juta Ha;

3) Rehabilitasi dan konservasi sumberdaya hutan, dengan kegiatan pokok antara lain:
a) Mendorong efektivitas pelaksanaan RHL pada areal seluas 5 juta Ha termasuk rehabilitasi hutan mangrove dan hutan pantai (60 % dalam kawasan hutan, 40 % luar kawasan hutan);
b) Pengelolaan dan pemanfaatan kawasan konservasi di 200 unit KSA/KPA;
c) Membentuk 20 unit model Taman Nasional dan dapat beroperasi;
d) Penanggulangan kebakaran hutan;
e) Mengupayakan berfungsinya 282 DAS prioritas secara optimal, termasuk berfungsinya daerah tangkapan air dalam melindungi obyek vital (al: waduk, pembangkit listrik tenaga air);
f) Mendorong peningkatan pengelolaan jasa lingkungan melalui pengelolaan hutan wisata.
4) Pemberdayaan ekonomi masyarakat di dalam dan sekitar kawasan hutan, dengan kegiatan pokok antara lain :
a) Mendorong pengembangan ekonomi masyarakat di dalam dan sekitar hutan;
b) Peningkatan iklim usaha kecil dan menengah serta akses masyarakat kepada hutan;
c) Memberikan jaminan akan ketersediaan bahan baku untuk UKM kehutanan;
d) Melanjutkan upaya pengembangan pemberdayaan ekonomi masyarakat (community economic empowerment).
5) Pemantapan kawasan hutan, dengan kegiatan pokok antara lain :
a) Menfasilitasi terbentuknya unit pengelolaan hutan KPHP, KPHL dan KPHK;
b) Mengupayakan penyelesaian penunjukan kawasan hutan;
c) Mendorong penyelesaian penetapan kawasan hutan pada 30 % luas kawasan hutan yang telah ditata batas;
d) Melakukan koordinasi, sinkronisasi dengan sektor lain dalam proses penatagunaan kawasan hutan;
e) Mempertahankan keberadaan kawasan hutan yang ada;
f) Menyediakan kelengkapan informasi SDHA, meliputi al: potensi penutupan lahan, kayu komersiil dan non komersiil, potensi non kayu, hidupan liar, jasa lingkungan dan wisata;
g) Menyediakan data/informasi spatial dan non spatial kehutanan.

Tidak ada komentar: