Impian Kecil Bisa
Mengantar pada Kejayaan
Saya
selalu ingat, kata-kata kakek saya supaya belajar baik-baik karena di darah dan
diriku ada tanda-tanda karakter “To Manurung”.
Meskipun saya masuk anak santri tetapi saya suka mengadu ayam. Kata
kakek saya, itu katanya karakter bawahan dari leluhur. Saya masih ingat betul,
kakek saya berpesan untuk tidak makan ekor ataupun jantung pisang. Pantangan
ini baru saya mengerti alasannya pada saat kuliah, kira-kira maksudnya bahwa
dengan tidak makan ekor agar jangan perna jadi pengikut (ekor) tetapi jadilah
pemimpin dan jantung pisang itu adalah makanan ata’ (budak). Untuk ini, masih
saya pegang sampai sekarang meskipun saya tidak menanggapnya haram. Ini saya
anggap, saya tidak berselera makan bukan karena saya anggap tidak halal. Kata
kakek saya Agama yang Membawa Adat bukan Adat yang Membawa Agama.
Karena
mungkin waktu kecil saya suka mengaji, belajar lontarak, dan termasuk anak
berprestasi di sekolah makanya banyak kakek dan beberapa orang tua keluarga
memberikan ilmu-ilmunya ke saya termasuk lontarak, pusaka, ilmu falak, ilmu
pengobatan, ilmu kepemimpinan, ilmu filsafat dan ilmu lainnya. Dengan harapan
saya dapat mengembalikan kejayaan leluhur. Kakek-kakek saya adalah guru-guru
kampung, mereka berpesan bahwa kalau berguru sama orang lihatlah waktu hidup
dan menjelang matinya. Kalau hidupnya bahagia dan matinya dengan tenang
menghadap ke sisiNya maka ambillah ilmunya. Kakek dan guru-guru saya memang matinya “Khuznul
Khatimah”, mereka tahu bahwa mereka sudah mau dipanggil yang Maha Kuasa dan
minta diwhudukan sebelum ketemu sakaratul maut. Makanya saya yakin betul ilmu
yang diberikan bukanlah ilmu sesat tapi betul-betul merupakan ajaran Islam yang
benar.
Masa-masa
kecilku kulalui dengan hidup di kampung dengan penuh bahagia. Waktu masih
anak-anak saya hobby memelihara ayam, kambing dan sapi, memelihara ikan, memanjat
pohon rambutan, melempar buah mangga, menjerat burung, bermain di sungai,
memanjat pohon jambu dan rambutan, menunggu buah alpukat dan durian jatuh, bermain lumpur di sawah, memburu capung,
menangkap ikan, bermain kelereng, permainan wayang, petak umpet. Selain itu,
sewaktu kecil jadi penjual salak di sekolah, penjual pisang goreng dan tapai di
bulan puasa, serta pemulung botol di tempat wisata adalah pekerjaanku mencari
uang dan di sinilah saya mulai belajar mandiri. Sekolahku waktu SD agak jauh di
seberang sungai, jadi setiap ke sekolah pasti lewat sungai. Jam 10 dulu saya dapat
tandai dengan lewatnya pesawat terbang yang berbunyi nyaring (di sinilah saya
sering berharap suatu saat nanti bias naik pesawat). Pada saat itulah waktu
kelas 1 SD merupakan waktu untuk pulang sekolah.
Paling
senang dulu kalau pulang sekolah, kalau air sungainya meluap karena ujung-ujung pasti
mandi-mandi dan berenang. Sepulang sekolah, habis makan siang pergi bermain
wayang (bukan wayang Jawa tapi semacam
kertas bergambar), kelereng, atau karet gelang, kalau tidak pergi adu ayam sama
sepupu (bukan sabung ayam ini he..he..he..) setelah itu pergi santri sampai Ashar
kemudian main petak umpet atau permainan tradisional yang disebut “boong”
(permainan perang dengan batu pipi sebagai tanda markas). Aturannya di sini,
permainannya ada di lapangan terbuka tetapi di sekelilingnya semak belukar, ada
dua group masing-masing memiliki satu batu pipih yang ditancapkan ke tanah.
Batu ini harus dijaga supaya tidak diinjak lawan, siapa anggota lawan yang
menginjanknya berarti menang (ini dianggap markasnya telah dikuasai). Aturan
menangkap musuh adalah dengan cara menyentuh musuh tetapi pastikan musuh yang
menangkap adalah yang menginjak batu yang terakhir. Lawan yang disentuh kemudian
ditawan dan disuruh berjejer di depan markas. Pihan lawan masih dapat
membebaskannya dengan cara menyentuhnya.
Biasanya
dalam permainan ini saya adalah pengatur strateginya, karena lapangannya dikelilingi
semak belukar maka banyak tempat persembunyian. Saya biasanya mengirim satu
orang mata-mata dan saya sendiri juga bertindak sebagai mata-mata, teman-teman
yang lain harus terus mempropokasi lawan biar mereka tidak sadar bahwa ada dua
orang yang diutus sebagai mata-mata
sekaligus untuk menyerang lawan sampai dapat menginjang batunya. Saya dan teman
saya harus mengambil jalur berbeda, kemudian harus bergerang diam-diam dalam
semak belukar biar tidak diketahui lawan, pada saat dekat wilayah lawan maka
teman yang ditinggalkan harus mempropokasi lawan dan yang bertindak mata-mata
harus berupaya membuat gerakan supaya konsentrasi lawan terbagi kedua arah, dan
berusaha akan menangkap mata-mata yang satu, pada saat konsentrasi terpecah
kedua arah saat itulah saya berlari secara diam-diam dari arah berlawanan untuk
menginjak batu lawan tanpa dia sadari dan itulah yang disebut “boong” dan
kelompok kita menang..menang…menang…
Permainan
chip-chip adalah permainan yang tidak kalah serunya waktu kecil. Di sini ada
dua group yaitu group polisi dan penjahat. Pembagian group ini dilakukan secara
acak. Jadi anggota penjahat adalah group favoritku karena di sini kita
bertindak sebagai yang dikejar. Skenarionya biasanya adalah klasik, ada
penduduk yang melapor ke polisi bahwa kehilangan sapi, kemudian polisi
mengeluarkan ultimatum (dihitung sampai sepuluh). Ini semacam peringatan buat
penjahat untuk menyerahkan diri. Tapi penjahat mana mau menyerahkan diri,akhirnya
polisi mengejar gerombolan penjahat tersebut. Tapi karena permainan ini di
semak-semak yang punya banyak lorong-lorong maka perburuan menjadi seru. Yang
membuat saya suka jadi gerombolan penjahat karena saya suka buat perangkap dalam lorong yang membuat polisinya
tersiram air. Caranya adalah di jalan lorong, digali kemudian dari situ
dipasang dengan ranting kayu yang disambungkan dengan tali kecil dari kulit
kayu yang menghubungkan dengan botol air di bagian atas lorong, sehingga ketika
polisinya menginjak ranting tadi maka otomatis talinya menarik botol yang
berisi air maka tertumpalah air. Itulah masa-masa kecilku penuh dengah ide-ide
lucu dan konyol.
Setelah
bermain biasanya pulang ke rumah, mengatur induk ayam ke kandangnya, terus
mandi dan mengaji, kemudian kerjakan PR dan belajar, habis Isya langsung tidur.
Dengan waktu seperti itu kadang sekarang saya heran, waktu SD saya selalu
rangking, hafal butir-butir pancasila, P4 dan juz amma tapi waktu belajarnya
sedikit. Itulah mungkin bedanya dengan anak-anak kampung, daya ingat dan daya
serap mata pelajaran.
Hari
minggu adalah waktu untuk pergi ke kebun atau ke sawah. Biasanya pergi
mencangkul, menanam jagung, petik buah kakao atau jaga padi. Paling seru ketika
jaga padi ke sawah, waktunya untuk jerat burung pipit. Alat jeratnya bias
menggunakan getah pohon sukun atau keluwih yang sebelumnya di masak sampai
membentuk lem. Selain itu dibuat juga perangkap berupa sangkar yang berisi
burung pipit yang berkicau untuk memanggil temannya. Sambil menjaga padi dan
menunggu hasil jeratan paling seru baca cerita silat Wiro Sableng karangan
bastian Tito dan cerita silat karangan Asmaraman S. Ko Phing Ho. Yang tak kalah
seru dulu juga adalah ketika mengangkut gabah, kakao dan kemiri dari kebun
kadang harus memikul naik turun gunung baru
sampai ke rumah, dan menanam padi di sawah sambil bermain hujan-hujan.
Orang tua tidak marah kalau kita bermain lumpur dan hujan-hujan, katanya supaya
terbiasa dengan alam. Mungkin juga orang tua saya tidak perna marah. Sampai
saya dewasa, memang tidak perna saya lihat orang tua saya bertengkar. Mereka itu
kayak cinta sejati. Kata Ibu saya cukup satu saja yang penting selamanya. Dua
istri kalau tidak adil membuat semua bias hancur. Di kampung saya dan di
Pinrang, kebun dan sawah saya sebenarnya luas tapi keluarga yang dipercaya jaga
malah mencaploknya jadi miliknya, hal ini karena demi memenuhi istri keduanya.
Tapi itulah orang tua, sudah tahu tanah dan sawahnya diambil selalu bilang
tidak apa-apa harta tidak di bawah mati. Orang tua selalu bilang hiduplah
sederhana dan bersahaja, biar sedikit rezeki yang penting mencukupi itu jauh
lebih berarti. Kalau saya ingat kata-kata ini rasa rindu terhadap orang tua
selalu datang. FAMILY: Father And Mother I Love You.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar