Asal-Usul Muhammad Daud Hammasa
Nama lengkapnya adalah Muhammad Daud
Hammasa biasa dipanggil Daud, sempat waktu kecil sampai lulus SD dia
dipanggil dengan nama Mister. Dia dilahirkan di sebuah kampung di Enrekang
tepatnya di Bisang pada tanggal 19 November 1985 (tapi ditulis di akte lahir
tanggal 29 November 1985 dan ini yang dipakai sampai saat ini di dokumen resmi)
dari pasangan Hammasa dan Marina. Dia anak keempat dari empat bersaudara.
Pekerjaan orang tuanya adalah seorang petani, meskipun seorang
petani sebenarnya kedua orang tua adalah keturunan bangsawan ‘To
Manurung”. Akibat penjajahan Belanda, jepang dan
pemberontakan-pemberontakan di Sulawesi Selatan (Andi Azis dan Kahar Musakkar
dengan DI TII) membuat orang tuanya tidak dapat mengejang pendidikan tinggi dan
memilih merantau ke Malaysia dan kerja di perusahaan kayu milik Inggris selama
bertahun-tahun, tapi akhirnya memilih pulang kampung untuk mengelolah kebun
sendiri.
Dia masih ingat betul, betapa Kakek
dan Neneknya waktu kecil sering menceritakan tentang silsilah leluhurnya.
Menurut cerita dan buku lontaraq yang diberikan kakek, dia berasal dari
keturunan Batara Guru dari Luwu (To Manurung Guru Lasellang Puang
Palipada) dan Embong Bulan dari Tana Toraja. Dari pasangan inilah kemudian
melahirkan Puang Lakamummu. Dari sinilah sebenarnya kata Kakek dia menjadi
alasan ada istilah “solata domai” (teman dari atas) karena Enrekang-Toraja-Luwu
adalah satu rumpun, Ayahnya Luwu, Ibunya Toraja dan Anaknya Enrekang. Dari
Lakamumu ini Menikah dengan Datu Mariwajang Pammana Wajo kemudian
Lakamumu menurunkan Puang Palindungan seterusnya dari Puang Palindungan
menurunkan Puang Paloang, Puang Paloang menurunkan Puang Pallulungan, Puang
Pallulungan kemudian menurunkan Puang Mappeangka, dari Puang Mappeangka
menurunkan Puang Tanriangka yang menikah dengan Puang Danrakati. Pasangan
inilah yang mendirikan Kerajaan Enrekang. Dari pasangan ini kemudian menurunkan
Puang Takkebuku (Arung Enrekang I), Puang Takkebuku kemudian menurunkan Puang
Kota (Arung Enrekang II), Puang Kota kemudian menurunkan Puang Bissutonang
(Arung Enrekang III), Puang Bissutonang Menikah dengan La patau Adatuang
Sawitto Timoreng Sadang kemudian menurunkan Puang Lamappatunru (Arung Enrekang
IV) yang menikah dengan Nagaulan (Putri Arung Bone), dari Puang Lamappatunru
kemudian menurunkan Puang Baso Panca (Arung Enrekang V), dari Baso panca
kemudian menurunkan Puang Massagoni (Arung Enrekang VI), Puang Massagoni
menurunkan Puang M. Yusuf Puang Daeng (Arung Enrekang VII), Puang M. Yusuf
Puang Daeng, kemudian menurunkan Puang Pabolongan, kemudian puang Pabolongan
menurunkan Puang Lahamma, Puang Lahamma kemudian menurunkan Puang Saripa.
Setelah itu akibat pengaruh agama islam yang sangat kuat maka leluhurnya meminta
untuk tidak perlu memakai kata “Puang” di depan namanya karena dalam bahasa
Enrekang kata “Puang” sama artinya dengan Tuhan tetapi diganti dengan kata Pu,
kata Puang hanya dipakai dalam acara adat saja. Dari Puang Saripa kemudian
menurunkan Pu Nga dari Pu Nga kemudian menurunkan Pu Manaa yang kemudian
menurunkan Pu Tika dari Pu Tika kemudian menurunkan Marina (Ibunya). Anak Punga
yang lain adalah Pu Cembong yang kemudian menikah dengan anak keturunan
bangsawan (Puang Bisang, kuburannya ada di Bisang) menurunkan Pu Hatina yang
kemudian menurunkan Hammasa (Ayahnya). Jadi, kalau dilihat dari sejarah dan
silsilah dia adalah keturunan bangsawan kuat karena Ibu dan Ayah dia keturunan
bangsawan dengan garis kebangsawanan yang kuat. Jadi, dengan ketentuan
ini gelar kebangsawan “Puang” dapat dia gunakan “Puang Muhammad Daud Hammasa”.
Tapi kakeknya selalu berpesan agar gelar Puang digunakan pada keperluan adat
saja, kalau suatu saat orang bertanya tentang asal usul leluhur, maka
tunjukkanlah Lontaraq, pusaka, Mana’ (Barang Peninggalan), silsilah dan kuburan
leluhurmu. Pusaka ini masih ada di Bisang dan dicuci setiap tahun melalui acara
adat dan dia biasa yang mencucikan pusaka tersebut. Menurut kakeknya yang dapat
jadi pemimpin adalah: Majeppuipi ade’, Misseppi battuang, Magettapi Rigau
Madeceng, Metaupi ri Ada Tongangnge’. Oleh karena itu, mereka selalu berpesar
untuk belajar agama, adat, dan mengejar pendidikan tinggi supaya bias memenuhi kriteria
pemimpin itu. Sampai saat ini, Lontaraq, pusaka, Mana’ (Barang Peninggalan),
silsilah masih disimpannya sebagai bukti tentang sejarahnya. Soekarno perna
mengatakan JAS MERAH: Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah. Karena garis
keturunan To Manurung yang juga berarti Wija To Madeceng, maka itulah yang
menjadi pegangannya untuk selalu jadi orang baik yang berperilaku baik, rendah
hati dan sederhana.