From Mister to Master
Pada tahun 2008 penulis lulus beasiswa di Jepang dan New Zeeland tetapi atas beberapa pertimbangan dia malah memilih menempuh pendidikan S-2 pada Mayor Ilmu
dan Teknologi Hasil Hutan,
Program Studi Ilmu Pengetahuan kehutanan, Sekolah Pascasarjana IPB meskipun dengan biaya pribadi. Untungnya, selama
menempuh pendidikan S-2 dia banyak terlibat dalam kegiatan proyek penelitian kerjasama
dengan DIKTI, LIPI, Puslitbang Hasil Hutan Bogor. yang dia gunakan untuk menambah biaya kuliah dan biaya hidup merantau. Selama S2 dia pernah mendapat penghargaan mahasiswa
berprestasi Sekolah Pascasarjana IPB (Prestasi Akademik Gemilang). Penelitiannya sangat menarik yaitu tentang bioenergi, bagaimana membuat bioetanol sebagai pengganti bahan
bakar bensin dari kayu yang merupakan ide-ide nekatnya. Setelah belajar di
Surfactant and Bioenergy Research Center (SBRC) IPB, meneliti di Laboratorium Kimia Hasil Hutan
IPB, Laboratorium Rekayasa Bioproses, Laboratorium BIORIN dan Laboratorium Mikrobiologi Pangan,
Pusat
Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi IPB dan Laboratorium Afiliasi
Departemen Kimia FMIPA Universitas Indonesia serta Laboratorium Instrumen dan
Proksimat Terpadu Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan Bogor akhirnya dia mampu membuktikan idenya membuat bensin dari kayu itu. Pada tahun 2010, Akhirnya saya selesai
dengan gelar master dengan IPK 3.95 dengan waktu studi kurang dari 2 tahun (23
bulan) dimana sebelumnya dia harus diuji dengan lima penguji yang dimana satu orang Professor Alumni Tokyo University Jepang, Satu orang Professor Alumni Queensland University, satu orang Professor alumni Wisconsin University, Amerika Serikat, dan Dr. (saat itu ambil post Doktor di Perancis mungkin sekarang katanya sudah jadi Professor) serta digantikan dengan penguji Dr. dari Tokyo University. Ujiannya saat itu seru sekali, masih teringat dibenaknya betapa nilai rata-rata nilai ujian tesisnya adalah 97,5 dari semua penguji. Hari itu menjadi salah satu hari terindah dalam hidupnya.
Selesai ujian, bukan saran-saran perbaikan yang diberikan tetapi saran untuk lanjut S3. Akhirnya setelah itu dia diperkenalkan pembimbingnya sama Professor di Tokyo di bidang bioenergi, dia kemudian menghubunginya dan Professor tersebut bersedia membimbing suatu saat nanti. Tapi dorongan untuk pulang ke Makassar lebih kuat dengan harapan janji dari almamater. Tapi kemudian seperti nasib orang-orang cerdas pada umumnya di Indonesia, hidupnya terkatung-katung di almamaternya meskipun keinginannya sangat kuat untuk mengabdikan diri jadi dosen tetap di sana. padahal dia tidak punya keinginan apa-apa selain mencari nafkah sambil membagi ilmunya serta melakukan penelitian yang berguna bagi masyarakat dan negara. Dia bukanlah seorang otak proyek yang berorientasi materi, dia perna berkata kalau saja orientasinya hanya materi maka dia tidak perlu sekolah dia masih punya sawah, kebun dan ladang yang luas untuk mencari hidup. Tetapi lagi-lagi nasib orang cerdas di Indonesia harus rela tidak dihargai. Hal ini perna dikatakan sendiri oleh Habibie sendiri bahwa nasib orang-orang cerdas di Indonesia biasanya awalnya tidak akan dihargai karena dianggap pesaing, tetapi kehendak Allah pasti terjadi bahwa orang baik akan dibalas dengan kebaikan, ketika orang cerdas itu berada tempat yang cocok dan waktu yang tetap maka Insya Allah nasib baik akan datang dan akhirnya orang cerdas itu akan dihargai sebagai mana mestinya. Di Indonesia biasanya hanya menghargai anda kalau anda keluarga pejabat. Kalau anda tidak dikenal sebagai keluarga pejabat maka anda akan dilupakan. Itulah pandangan orang-orang yang hanya mementingkan dunia dan lupa akan azab kematian, padahal perbuatan itu sangat dibenci Allah. Itulah nasib si dia anak petani. Dulu dijanjikan sesuatu tapi apa daya janji tinggal janji. Kadang keputusannya waktu itu untuk memilih pulang ke almamater keteimbang menerima beberapa tawaran pekerjaan, dia agak sesali tetapi dia berusaha untuk bersabar dan bertawakkal bahwa semua itu adalah takdir dan ada hikmahnya, tetapi setidak-tidaknya menurutnya dia telah membuktikan bahwa dia rela mengabdi. Tapi sudah hukum alam bahwa mana mungkin dia mengabdi terus tanpa kejelasan status dan nafkah hidup padahal di sisi lain dia punya kewajiban untuk menafkahi diri sendiri dan mengabdi dan memberi nafkah kepada orang tuanya. Habis manis sepah dibuang itulah yang dia rasakan. Ada yang menganjurkannya untuk bersabar menunggu. Tapi tidak mungkin menunggu yang tidak pasti dan tidak jelas. Perlu ditekankan bahwa sabar itu yang terpuji adalah sabar dalam menjalani cobaan yang berada di luar kemanpuan manusi untuk menanggulangi atau menghilangkannya atau sabar dalam menjalani cobaan yang tidak mengandung mudarat bagi agama. Adapun jika seseorang muslim sanggup menanggulangi atau menghilangkan cobaan itu, atau cobaan itu mengandung mudarat bagi agama, maka dalam hal itu sabar bukanlah sesuatu yang dituntut. Dalam Al Quran sendiri tepatnya Surat An Nisa 97 menunjukkan bahwa jika kita mampu keluar dari kondisi yang menghimpit tapi kita memilih bertahan dalam kondisi itu dengan dalih sabar, maka alih-alih dipuji malah dicelah. Akhirnya dia memilih mengabdi ke orang tua daripada mengabdi ke mereka terus dengan janji yang tidak jelas yang pada akhinya membuatnya berdosa ke orang tua karena tidak menafkahinya pada masa tuanya. Dia memilih ingin tetap mengabdi ke orang tuanya sampai akhir hayatnya meskipun mereka menganggapnya keputusan untuk mencari penghidupan baru adalah tindakan ketidaksetiaan. Ingatlah kesetiaan yang diajarkan Nabi, kesetiaan hanya berlaku jika kesetiaan kita dihargai. Tidak ada yang sia-sia kalau niat sesorang baik, Insya Allah ujungnya pasti baik.
Selesai ujian, bukan saran-saran perbaikan yang diberikan tetapi saran untuk lanjut S3. Akhirnya setelah itu dia diperkenalkan pembimbingnya sama Professor di Tokyo di bidang bioenergi, dia kemudian menghubunginya dan Professor tersebut bersedia membimbing suatu saat nanti. Tapi dorongan untuk pulang ke Makassar lebih kuat dengan harapan janji dari almamater. Tapi kemudian seperti nasib orang-orang cerdas pada umumnya di Indonesia, hidupnya terkatung-katung di almamaternya meskipun keinginannya sangat kuat untuk mengabdikan diri jadi dosen tetap di sana. padahal dia tidak punya keinginan apa-apa selain mencari nafkah sambil membagi ilmunya serta melakukan penelitian yang berguna bagi masyarakat dan negara. Dia bukanlah seorang otak proyek yang berorientasi materi, dia perna berkata kalau saja orientasinya hanya materi maka dia tidak perlu sekolah dia masih punya sawah, kebun dan ladang yang luas untuk mencari hidup. Tetapi lagi-lagi nasib orang cerdas di Indonesia harus rela tidak dihargai. Hal ini perna dikatakan sendiri oleh Habibie sendiri bahwa nasib orang-orang cerdas di Indonesia biasanya awalnya tidak akan dihargai karena dianggap pesaing, tetapi kehendak Allah pasti terjadi bahwa orang baik akan dibalas dengan kebaikan, ketika orang cerdas itu berada tempat yang cocok dan waktu yang tetap maka Insya Allah nasib baik akan datang dan akhirnya orang cerdas itu akan dihargai sebagai mana mestinya. Di Indonesia biasanya hanya menghargai anda kalau anda keluarga pejabat. Kalau anda tidak dikenal sebagai keluarga pejabat maka anda akan dilupakan. Itulah pandangan orang-orang yang hanya mementingkan dunia dan lupa akan azab kematian, padahal perbuatan itu sangat dibenci Allah. Itulah nasib si dia anak petani. Dulu dijanjikan sesuatu tapi apa daya janji tinggal janji. Kadang keputusannya waktu itu untuk memilih pulang ke almamater keteimbang menerima beberapa tawaran pekerjaan, dia agak sesali tetapi dia berusaha untuk bersabar dan bertawakkal bahwa semua itu adalah takdir dan ada hikmahnya, tetapi setidak-tidaknya menurutnya dia telah membuktikan bahwa dia rela mengabdi. Tapi sudah hukum alam bahwa mana mungkin dia mengabdi terus tanpa kejelasan status dan nafkah hidup padahal di sisi lain dia punya kewajiban untuk menafkahi diri sendiri dan mengabdi dan memberi nafkah kepada orang tuanya. Habis manis sepah dibuang itulah yang dia rasakan. Ada yang menganjurkannya untuk bersabar menunggu. Tapi tidak mungkin menunggu yang tidak pasti dan tidak jelas. Perlu ditekankan bahwa sabar itu yang terpuji adalah sabar dalam menjalani cobaan yang berada di luar kemanpuan manusi untuk menanggulangi atau menghilangkannya atau sabar dalam menjalani cobaan yang tidak mengandung mudarat bagi agama. Adapun jika seseorang muslim sanggup menanggulangi atau menghilangkan cobaan itu, atau cobaan itu mengandung mudarat bagi agama, maka dalam hal itu sabar bukanlah sesuatu yang dituntut. Dalam Al Quran sendiri tepatnya Surat An Nisa 97 menunjukkan bahwa jika kita mampu keluar dari kondisi yang menghimpit tapi kita memilih bertahan dalam kondisi itu dengan dalih sabar, maka alih-alih dipuji malah dicelah. Akhirnya dia memilih mengabdi ke orang tua daripada mengabdi ke mereka terus dengan janji yang tidak jelas yang pada akhinya membuatnya berdosa ke orang tua karena tidak menafkahinya pada masa tuanya. Dia memilih ingin tetap mengabdi ke orang tuanya sampai akhir hayatnya meskipun mereka menganggapnya keputusan untuk mencari penghidupan baru adalah tindakan ketidaksetiaan. Ingatlah kesetiaan yang diajarkan Nabi, kesetiaan hanya berlaku jika kesetiaan kita dihargai. Tidak ada yang sia-sia kalau niat sesorang baik, Insya Allah ujungnya pasti baik.
Selama
S2 dia aktif di berbagai organisasi di antaranya anggota Forum Wacana Sulsel
Sekolah Pascasarjana IPB, anggota Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (Indonesian
Wood Research Society), anggota Forum Teknologi Hasil Hutan, anggota
Lembaga Studi Ular Indonesia SIOUX, rimbawan pecinta alam (RIMPALA) IPB, Tree Climber Organization, Jejak
Petualang Indonesia. Pada tahun 2010, meskipun, banyak tawaran dan peluang pekerjaan dulu di
jawa seperti di beberapa perguruan tinggi terkenal dan lembaga penelitian dan perusahaan di bidang pertambangan dan perminyakan serta energi di jawa serta ditawari beasiswa ke luar negeri tetapi lebih memilih
pulang karena dijanji jadi dosen tetap di almamaternya tetap tetapi ujung-ujungnya janji tinggal janji nasibnya tidak diperjuangkan oleh orang yang memanggilnya. Allah Maha adil dan Mudah-mudahan Allah memberikan dia lebih baik. Tahun 2012 dia menyadari bahwa dia masih dianggap kaum
Marhaen sehingga tidak perlu diperjuangkan, akhirnya dia memutuskan mencari penghidupan baru. Allah
Maha adil, selama periode itu dia dipanggil jadi dosen di UNSULBAR dan UNISMUH dan menjadi konsultan. Dia sudah memaafkan orang-orang yang mendzaliminya. Setelah dia memutuskan untuk mencari penghidupan baru dia masih tetap menjadi dosen di UNSULBAR dan UNISMUH dan kadang menjadi asisten peneliti di Puslitbang LH UNHAS, menjadi konsultan Lingkungan
dan pemberdayaan masyarakat terutama di bidang AMDAL (Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan), KLHS (Kajian Lingkungan Hidup Strategis), Pengembangan Rumah
Tradisional, Pengelolaan pesisir, Perubahan Iklim, dan menjadi ahli kimia hasil
hutan dan bioenergi yang membuatnya banyak keliling di Indonesia seperti
Jawa, Bali, Lombok, Papua, Ternate, Tidore, Bacan, Ambon, Obi, Sulawesi,
Kabaena, Flores, Kalimantan, dan Sumatera. Setelah itu dia terjun dalam bisnis
dengan nama branding Bakso Cell dan Rimba Corner melanjutkan bisnisnya gaharu trading serta membangun kembali hutan rakyat dan green investment di kampungnya yang sempat mandek ketika mengabdi di almamaternya dan kemudian mendirikan
konsultan bersama sahabat-sahabatnya dengan nama Tropical Rain Forest Consultant.
Dia sangat bersyukur, dengan
segudang pengalaman pahit-manis yang dia jalani, menginspirasi banyak keluarganya untuk kuliah. Dia memilik keluarga besar yang tersebar di beberapa tempat di Indonesia seperti di Papua, Jawa, Sumatera dll. Kurang lebih dua per
tiga keluarganya di Malaysia dan sudah masuk warga negara di sana. Waktu
kecil banyak keluarga memilih merantau tapi sekarang banyak yang mau kuliah di
perguruaan tinggi. Dia bersyukur perjalanannya mengubah pandangan kolot bahwa “kalau
merantau maka kita kasih makan orang tua tapi kuliah maka memakan orang tua”.
Dia selalu mengajarkan kepada keluarga-keluarganya bahwa kuliah memang susah awalnya karena harus berkorban uang tapi ujung-ujungnya uang yang kita
investasikan akan kembali juga, dengan catatan serius kuliah. Akhirnya, namanya berubah di kampung dari panggilan kecil Mister dan setelah besar dipanggil Master.
Dari
semua pengalaman suka duka itu, dia syukuri karena itulah yang membuatnya, dewasa dan mengerti kehidupan. Hampir semua
profesi sudah dia geluti sejak kecil sampai dewasanya mulai dari petani, pemulung, peternak, mahasiswa,
aktivis, asisten dosen, dosen, konsultan dan pengusaha. Mudah-mudahan ini
adalah cara Allah mengajar dan mendidiknya sehingga kelak menjadi orang besar di Indonesia sesuai
asal-usulnya sebagai keturunan bangsawan yang rendah hati (Wija To Manurung). Amiiin